Rahasia Kecil Ri
Ria, 14 tahun, duduk di sudut ruangan kantor yang luas. Keenam kakaknya, Shani, Gracia, Feni, Jinan, Cindy, dan Celine – keenam CEO sukses – sibuk dengan pekerjaan mereka, telepon berdering, laptop menyala terang. Ria sendiri tenggelam dalam buku di tangannya, sebuah novel petualangan yang seharusnya membawanya ke dunia lain. Namun, pandangannya sesekali teralihkan pada tangan kirinya yang terbalut kain putih. Di bawah kain itu, luka kecil di telapak tangannya masih terasa perih. Ia jatuh di sekolah tadi, tergores batu tajam di halaman. Air mata mengancam membasahi pipinya. Ia ingin sekali bercerita pada salah satu kakaknya, meminta pertolongan. Bayangan wajah-wajah sibuk mereka terlintas di benaknya. Mereka begitu lelah, begitu fokus pada tanggung jawab masing-masing. Ria tak tega mengganggu. Ia menggigit bibir, menahan rasa sakit dan keinginan untuk menangis. Buku itu kini terasa berat, kata-kata di halamannya kabur. Namun, di balik rasa sakit dan kesedihan, ada tekad kecil yang tumbuh dalam hati Ria. Ia akan mengatasi ini sendiri. Ia akan membersihkan lukanya dengan hati-hati, mengoleskan salep, dan membalutnya kembali. Ia akan membuktikan pada dirinya sendiri bahwa ia kuat, bahwa ia bisa melewati ini tanpa harus merepotkan keenam kakaknya yang luar biasa. Senyum kecil muncul di bibirnya. Mungkin, petualangan dalam buku ini tidak seheboh yang ia bayangkan, tetapi petualangan kecilnya sendiri, untuk menghadapi luka kecil ini, justru mengajarkannya arti keberanian dan kemandirian. Dan itu, baginya, adalah sebuah pencapaian yang luar biasa.