Lukisan Hati **
** Andin, dengan rambut panjang hitam legam yang selalu terurai, duduk di sudut kelas, fokus pada kanvasnya. Sisa kelas berisik dengan canda tawa, namun Andin seakan berada di dunia lain, dunia yang hanya dihuni oleh warna-warna dan goresan kuas. Dia adalah seniman yang terlahir dengan bakat luar biasa, namun memilih untuk menyendiri, terkurung dalam dunianya sendiri. Amar, dengan rambut ikal cokelat dan senyum jahil yang selalu menghiasi wajahnya, adalah kebalikan dari Andin. Dia adalah anak populer, selalu dikelilingi teman-teman, dan terkenal dengan sifatnya yang suka menggoda perempuan. Amar seringkali membuat Andin kesal dengan leluconnya yang terkadang kelewat batas, namun Andin selalu mengabaikannya, memilih untuk fokus pada lukisannya. Suatu hari, saat Andin sedang asyik melukis di taman sekolah, Amar menghampirinya. "Lagi melukis apa, Andin?" tanyanya dengan nada jahil. Andin mendongak, matanya dingin dan datar. "Tidak ada urusanmu," jawabnya singkat. Amar terkekeh, "Kenapa kamu selalu dingin sama aku? Aku kan cuma mau berteman." Andin kembali fokus pada lukisannya, mengabaikan Amar. Namun, Amar tidak menyerah. Dia terus menghampiri Andin, mencoba mengajaknya bicara, bahkan menawarkan bantuan untuk mengantar Andin pulang. Andin tetap bersikap dingin, namun perlahan, sikap Amar mulai membuatnya penasaran. Amar mulai memperhatikan Andin, memperhatikan bagaimana Andin begitu fokus saat melukis, bagaimana matanya berbinar saat melihat warna-warna, bagaimana senyumnya muncul saat dia berhasil menyelesaikan sebuah lukisan. Amar mulai menyadari bahwa Andin bukanlah gadis dingin yang selalu dia kira. Dia adalah gadis yang penuh dengan passion, dengan jiwa yang lembut dan sensitif, tersembunyi di balik sikap dinginnya. Perlahan, perasaan Amar berubah. Dia mulai jatuh cinta pada Andin, pada kecerdasannya, pada bakatnya, pada jiwa seninya yang begitu mempesona. Amar mulai berusaha untuk lebih dekat dengan Andin, mencoba memahami dunianya, mencoba membuatnya tersenyum. Andin pun mulai luluh. Dia mulai melihat sisi lain dari Amar, sisi yang tidak pernah dia lihat sebelumnya. Amar yang perhatian, yang pengertian, yang selalu ada untuknya. Andin mulai merasakan getaran aneh di hatinya, getaran yang membuatnya gugup, yang membuatnya bahagia. Suatu hari, Amar mengajak Andin ke pameran seni. Andin awalnya menolak, namun Amar bersikeras. Di pameran itu, Amar melihat Andin begitu terpesona dengan karya-karya seni, matanya berbinar-binar, senyumnya mengembang. Amar merasa bahagia melihat Andin seperti itu, merasa bangga karena dia bisa membuat Andin bahagia. Saat mereka berjalan pulang, Amar memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya. "Andin, aku... aku mencintaimu," katanya gugup. Andin terdiam, matanya menatap Amar dengan penuh tanya. "Aku tahu aku bukan orang yang tepat untukmu, aku nakal, aku suka menggoda, tapi aku benar-benar mencintaimu, Andin." Andin tersenyum, senyum yang membuat hati Amar berdesir. "Aku juga mencintaimu, Amar," jawabnya pelan. "Aku hanya... aku takut untuk membuka hatiku lagi." Amar menggenggam tangan Andin, "Aku akan menjagamu, Andin. Aku akan membuatmu bahagia." Andin mengangguk, matanya berkaca-kaca. Dia akhirnya menemukan seseorang yang bisa menerimanya apa adanya, seseorang yang bisa mencintai jiwanya yang penuh warna. Sejak saat itu, Andin dan Amar menjadi pasangan yang serasi. Amar selalu mendukung Andin dalam mengejar mimpinya sebagai seniman, sementara Andin selalu mengingatkan Amar untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Mereka saling melengkapi, saling mendukung, saling mencintai. Cinta mereka, seperti lukisan Andin, penuh warna, penuh makna, dan penuh dengan harapan.