Hukuman Pelaku Pemalakan dan Perspektif Syariat Islam
Kasus pemalakan yang terjadi pada seorang siswi kelas 2 SD di Menganti, Gresik, Jawa Timur, pada 17 September 2023, telah mengejutkan banyak orang. Korban yang berusia 8 tahun, yang kita kenal dengan inisial SAH, mengalami kebutaan permanen setelah matanya dicolok dengan tusuk bakso oleh kakak kelasnya. Kejadian ini memunculkan pertanyaan tentang hukuman yang harus diberikan kepada pelaku dan perspektif syariat Islam terkait dengan kasus ini. Ayah korban menjelaskan bahwa pemalakan terjadi pada 7 Agustus 2023 ketika korban enggan memberikan uang kepada pelaku. Sebagai akibatnya, korban dianiaya dan tusuk bakso dicolok-colokkan ke area mata hingga berdarah. Setelah dilakukan pemeriksaan medis, korban dinyatakan mengalami kebutaan permanen. Orangtua korban kemudian melaporkan kejadian ini ke polisi karena pihak sekolah enggan memberikan rekaman CCTV yang dapat menjadi bukti. Dalam kasus ini, hukuman yang harus diberikan kepada pelaku haruslah sebanding dengan kejahatan yang dilakukannya. Menurut hukum positif Indonesia, pelaku pemalakan dapat dijerat dengan Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan. Jika terbukti bersalah, pelaku dapat dikenai hukuman penjara maksimal 2 tahun 8 bulan. Namun, dalam perspektif syariat Islam, hukuman yang diberikan dapat lebih berat. Dalam Islam, kekerasan dan penganiayaan terhadap orang lain dianggap sebagai tindakan yang sangat serius. Dalam kasus ini, pelaku telah menyebabkan korban mengalami kebutaan permanen, yang merupakan kerugian fisik yang sangat besar. Dalam perspektif syariat Islam, hukuman yang diberikan kepada pelaku haruslah sebanding dengan kerugian yang ditimbulkan. Dalam hal ini, hukuman yang dapat diberikan menurut syariat Islam adalah qisas, yaitu hukuman yang sebanding dengan kejahatan yang dilakukan. Dalam kasus ini, pelaku harus mengalami kebutaan yang sama seperti yang dialami oleh korban. Namun, dalam praktiknya, hukuman qisas tidak selalu diterapkan secara harfiah dan dapat disesuaikan dengan keadaan tertentu. Selain itu, dalam Islam juga terdapat konsep ta'zir, yaitu hukuman yang ditentukan oleh hakim berdasarkan pertimbangan keadilan dan kemaslahatan umum. Dalam kasus ini, hakim dapat memberikan hukuman tambahan kepada pelaku, seperti hukuman penjara atau denda, sebagai bentuk pembelajaran dan pencegahan agar kasus serupa tidak terulang di masa depan. Dalam menentukan hukuman yang sebanding dengan kejahatan yang dilakukan, penting untuk mempertimbangkan tujuan hukuman dalam Islam, yaitu untuk memperbaiki perilaku pelaku, melindungi masyarakat, dan menghormati hak-hak korban. Hukuman yang diberikan haruslah adil dan dapat memberikan efek jera kepada pelaku serta memberikan keadilan bagi korban. Dalam kasus pemalakan yang menimpa siswi kelas 2 SD di Menganti, Gresik, hukuman yang harus diberikan kepada pelaku haruslah sebanding dengan kejahatan yang dilakukannya. Perspektif syariat Islam menekankan pentingnya keadilan dan perlindungan terhadap korban. Dalam menentukan hukuman, perlu dipertimbangkan baik hukum positif Indonesia maupun prinsip-prinsip syariat Islam untuk mencapai keadilan yang seimbang.