RUU KUHAP: Menjembatani Perkembangan Hukum Acara Pidana **
** Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tengah menjadi sorotan. Waktu yang tersisa bagi pemerintah dan DPR untuk menuntaskan RUU ini sangat sempit, mengingat masa keanggotaan DPR periode 2019-2024 akan berakhir pada Oktober 2024. Revisi KUHAP ini menjadi penting karena UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang telah berlaku selama 43 tahun, dinilai tidak lagi mampu mengakomodasi perkembangan hukum acara pidana yang terjadi. Selama ini, perkembangan tersebut hanya diatur dalam berbagai UU sektoral, seperti UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, UU Narkotika, dan UU Tipikor. Hal ini menimbulkan kesan bahwa sistem peradilan pidana belum diatur secara holistik dan komprehensif. RUU KUHAP diharapkan dapat menjadi payung hukum yang mengatur secara menyeluruh berbagai aspek hukum acara pidana, termasuk soal penyadapan, diversi, dan penuntutan. Mahkamah Agung (MA) sebagai salah satu pihak yang memberikan masukan terhadap revisi KUHAP, menekankan perlunya mempertegas pengaturan penuntutan yang menjadi kewenangan jaksa. Hal ini perlu disesuaikan dengan UU No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional) yang menggeser paradigma hukum pidana dari retributif menjadi restoratif. Dengan demikian, RUU KUHAP diharapkan dapat menjadi jembatan yang menghubungkan berbagai perkembangan hukum acara pidana dengan sistem peradilan pidana yang lebih holistik dan komprehensif. RUU ini diharapkan dapat menjawab tantangan penegakan hukum di masa depan dan mewujudkan sistem peradilan pidana yang lebih adil dan bermartabat.