Realitas Gender dalam Sistem Pendidikan dan Budaya Indonesia: Bayang-Bayang Patriarki
Sistem pendidikan dan budaya Indonesia, meski telah mengalami kemajuan, masih dipengaruhi kuat oleh ideologi patriarki. Patriarki, sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pusat kekuasaan dan otoritas, menciptakan ketidaksetaraan gender yang nyata dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan. Hal ini tercermin dalam berbagai realitas yang dialami siswa di Indonesia. Pertama, akses pendidikan yang tidak merata. Meskipun secara formal pendidikan wajib bagi semua, kenyataannya masih banyak perempuan, terutama di daerah pedesaan, yang terhambat aksesnya ke pendidikan tinggi karena faktor budaya dan ekonomi. Anggapan bahwa perempuan lebih baik mengurus rumah tangga daripada mengejar pendidikan tinggi masih bercokol di beberapa kalangan masyarakat. Ini memperkuat siklus ketidaksetaraan, membatasi potensi perempuan dan menghambat kemajuan bangsa. Kedua, stereotipe gender dalam kurikulum dan pembelajaran. Kurikulum dan metode pembelajaran seringkali masih memperkuat citra gender yang tradisional. Misalnya, mata pelajaran tertentu dianggap lebih cocok untuk laki-laki (seperti sains dan teknologi) sementara mata pelajaran lain dianggap lebih cocok untuk perempuan (seperti seni dan rumahan). Hal ini membatasi pilihan dan kesempatan bagi siswa untuk mengembangkan potensi mereka secara optimal, terlepas dari jenis kelamin. Ketiga, kekerasan berbasis gender di lingkungan pendidikan. Perilaku bullying, pelecehan seksual, dan diskriminasi gender masih terjadi di sekolah dan kampus. Korbannya seringkali adalah perempuan, yang merasa takut untuk melapor karena stigma sosial dan kurangnya dukungan sistemik. Ketidakadilan ini menciptakan lingkungan belajar yang tidak aman dan tidak kondusif bagi perkembangan siswa secara holistik. Keempat, representasi gender yang tidak seimbang dalam materi pembelajaran. Buku teks dan materi pembelajaran seringkali menampilkan representasi gender yang bias, memperkuat stereotip dan norma-norma patriarkal. Hal ini secara tidak langsung membentuk persepsi dan pandangan siswa terhadap peran dan posisi laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Kesimpulannya, ideologi patriarki masih menjadi penghalang utama dalam mewujudkan kesetaraan gender dalam sistem pendidikan dan budaya Indonesia. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan upaya kolektif dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga pendidikan, keluarga, dan masyarakat, untuk menciptakan lingkungan belajar yang inklusif, adil, dan bebas dari diskriminasi gender. Hanya dengan demikian, potensi seluruh siswa, baik laki-laki maupun perempuan, dapat berkembang secara optimal dan berkontribusi bagi kemajuan bangsa. Melihat realitas ini, kita perlu optimis bahwa perubahan menuju kesetaraan gender dapat dicapai melalui pendidikan dan kesadaran kolektif. Harapannya, generasi mendatang dapat tumbuh dalam lingkungan yang menghargai perbedaan dan potensi setiap individu, terlepas dari jenis kelaminnya. (Referensi: Modul 7 Sistem Sosial Budaya Indonesia, BMP ISIP4214, Universitas Terbuka)