Setara Institute seperti dilansir dalam Detiknows (2023) monlis laporan doanya polangguna Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB)sebanyak 175 kasus dengan 333 tindakan di tahun 2022 yang meningkat dari tahun sebolumnya Laporan ini memperkuat laporan Kontras (2021) yang menyatakan ada berbagai masalah hak atas berkeyakinar , beragama, dan benbadah yang ditandal oleh radikalisasi sentimen agama dan kebencian terhadap kelompok minoritas agama di Indonesia. Contoh yang bisa dilihat adalah kasus kekerasan terhadap Jamaah Ahmadiyah di Tasikmalaya dan Lombok Kasus Jamaah Sylah di Madura, Penolakan Pembangunan Gereja di Cilegon dan Gedangan Malang. Hal ini tidak bisa dipungkiri merupakan hasil turunan dari kebijakan politik negara yang ambigu. Ada berbagai kebijakan di bawah konstitusi UUD 1945, mulai dari Undang-Undang sampai Surat Keputusan Kepala Daerah yang justru bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM dan kebebasan berkeyakinan. Pertanyaan a. Berdasarkan kasus di atas, jelaskan makna pasal dalam UUD 1945 yang menaungi hak asasi manusia atas kebebasan beragama dan berkeyakinan! b. Analisislah salah satu kebijakan turunan atau lokal yang bertentangan prinsip HAM dan kebebasan beragama dan berkeyakinan misalnya UU No.1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama (blasphemy), SK Gubernur terkait, atau lainnya!

a. Pasal dalam UUD 1945 yang menaungi hak asasi manusia atas kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah Pasal 29 ayat 2 yang berbunyi: "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu." Pasal ini menegaskan bahwa setiap warga negara Indonesia memiliki hak untuk memeluk dan menjalankan agama atau kepercayaan sesuai keyakinannya masing-masing tanpa adanya paksaan. Kebebasan ini mencakup kebebasan untuk memeluk agama, beribadat, mengajarkan dan mengembangkan agama tersebut, serta kebebasan dari paksaan untuk tidak memeluk agama tertentu.b. Salah satu kebijakan turunan atau lokal yang bertentangan dengan prinsip HAM dan kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah UU No. 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama (blasphemy). Undang-undang ini secara eksplisit melarang tindakan-tindakan yang dianggap menyimpang atau merendahkan ajaran agama-agama yang diakui di Indonesia. Meskipun tujuannya adalah untuk melindungi kebebasan beragama, namun dalam praktiknya, undang-undang ini sering kali digunakan untuk membatasi kebebasan berekspresi dan berkeyakinan. Hal ini dapat dilihat dari berbagai kasus di mana individu atau kelompok yang menyuarakan pandangan atau kritik terhadap ajaran agama tertentu dikenai sanksi berdasarkan UU ini. Kebijakan semacam ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan dalam penerapan HAM di Indonesia, di mana kebebasan beragama dan berkeyakinan sering kali bertabrakan dengan kebijakan pemerintah yang cenderung restriktif.