Kutipan cerpen berikut untuk soal nomor 17-19. Jantungnya bagai hendak melompat dari ceruk dada. Keringatnya berjuntai-juntai. Tak terbilang kali ia mengutuk dalam hati: mengapa aku tak jadi tukang awas saja?! Beberapa kali dibetulkannya gulungan kain di pinggang. Lamat-lamat ia mengatur langkah. Hari hampir terang, baru tiga buah kakao yang dipetiknya. Sementara kawan-kawannya yang lain, ada yang hampir beroleh dua keranjang. Mereka memetik kakao bagai batang-batang rendah itu adalah kepunyaan mereka. Nek Minah makin gemetar. Tumitnya serasa lunglai. Kesemutan tiba-tiba. Oh, lupa ia bila darah rendahnya kerap kumat bila berdiri terlampau lama. "Mandor Buinggggggggggg!!!!!!" "Lisauuuuuuu!!!!" "Lariiiiiiii!!!!!!" Tubuh Nek Kakao menggigil hebat. la bagai patung yang mengonggok di tengah kebun. Hanya membelalak, menatap teman-temannya yang menyelinap-tiarap di bawah kandang kawat, sebelum lenyap di balik semak-semak rimba. Kini, tak ada lagi M ak Gaik, Wak Lukik, Bi Jum, Mang Sur, Nek Sangkut, dan teman-temannya yang lain. Hanya dua orang berbadan tegap, berwajah beringas, berdiri di hadapannya. Mata mereka merah menyala. Bagai hendak melumatnya bulat-bulat. Bagai hendak merajamnya kuat-kuat. Bagai hendak mengaum ... "Ternyata kau talipukangnya, hah?!" Tiga kakao di tangannya jatuh ke daun-daun basah yang menyelimuti tanah kebun. Dua orang mandor itu memungutnya. Dan bagai orang-orangan sawah, mereka menyeret Nek Minah ke pos jaga. Ke hadapan bos kebun kakao! Dikutip dari: Benny Arnas, "Nenek Kakao" dalam Sejumlah Alasan Mengapa Tiap Anak Sebaiknya Melahirkan Seorang Ibu, Yogyakarta, Diva Press, 2017 17. Makna simbol merah menyala dalam kutipan. cerpen tersebut adalah . ... A. ketakutan B. kemarahan C. ketegangan D. kebencian