Sistem Penanggalan Jawa: Sebuah Tinjauan Historis dan Filosofis

Sistem penanggalan Jawa, dengan siklusnya yang unik dan filosofi yang mendalam, telah menjadi bagian integral dari budaya Jawa selama berabad-abad. Lebih dari sekadar sistem penanggalan, ia merupakan cerminan dari kosmologi Jawa, menghubungkan manusia dengan alam semesta dan ritme alam. Artikel ini akan menelusuri sejarah dan filosofi sistem penanggalan Jawa, mengungkap makna di balik setiap elemennya dan bagaimana ia terus relevan hingga saat ini.

Sistem penanggalan Jawa, yang dikenal sebagai *Saka* atau *Caka*, memiliki akar sejarah yang dalam. Ia diperkirakan berasal dari abad ke-8 Masehi, di masa kerajaan Mataram Kuno. Sistem ini mengadopsi sistem penanggalan Hindu-Buddha, yang kemudian diadaptasi dan diintegrasikan dengan kepercayaan dan tradisi Jawa.

Sejarah Sistem Penanggalan Jawa

Sistem penanggalan Jawa menggunakan siklus tahunan yang berbeda dengan sistem penanggalan Gregorian yang umum digunakan di dunia Barat. Tahun Jawa dimulai pada bulan *Sura* (sekitar bulan September-Oktober) dan berakhir pada bulan *Asadha* (sekitar bulan Agustus-September). Setiap tahun Jawa terdiri dari 354 hari, dibagi menjadi 12 bulan, dengan setiap bulan memiliki 29 atau 30 hari.

Sistem penanggalan Jawa juga memiliki siklus 5 tahun, yang dikenal sebagai *Pancawara*. Setiap tahun dalam *Pancawara* diberi nama berdasarkan hari pasaran Jawa, yaitu *Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon*. Siklus ini digunakan untuk menentukan hari baik dan buruk untuk berbagai kegiatan, seperti pernikahan, panen, atau perjalanan.

Filosofi Sistem Penanggalan Jawa

Sistem penanggalan Jawa tidak hanya sekadar sistem penanggalan, tetapi juga mengandung filosofi yang mendalam. Ia mencerminkan kepercayaan Jawa tentang hubungan manusia dengan alam semesta dan ritme alam. Setiap bulan dalam sistem penanggalan Jawa dikaitkan dengan fenomena alam, seperti musim hujan, musim kemarau, atau panen.

Misalnya, bulan *Sura* dikaitkan dengan awal musim hujan, yang dilambangkan dengan dewa *Bathara Kala*, dewa waktu dan kematian. Bulan *Sapar* dikaitkan dengan musim panen, yang dilambangkan dengan dewa *Bathara Wisnu*, dewa pemeliharaan.

Relevansi Sistem Penanggalan Jawa di Masa Kini

Meskipun sistem penanggalan Jawa mungkin tidak digunakan secara resmi dalam kehidupan sehari-hari, ia tetap relevan dalam budaya Jawa. Sistem ini masih digunakan dalam berbagai upacara adat, seperti pernikahan, kelahiran, dan kematian.

Sistem penanggalan Jawa juga digunakan dalam seni dan sastra Jawa. Banyak karya sastra Jawa, seperti *Serat Centhini*, menggunakan sistem penanggalan Jawa untuk menggambarkan waktu dan peristiwa dalam cerita.

Kesimpulan

Sistem penanggalan Jawa merupakan warisan budaya yang kaya dan bermakna. Ia tidak hanya sekadar sistem penanggalan, tetapi juga mencerminkan kosmologi Jawa, menghubungkan manusia dengan alam semesta dan ritme alam. Sistem ini terus relevan hingga saat ini, digunakan dalam berbagai upacara adat, seni, dan sastra Jawa. Melalui sistem penanggalan Jawa, kita dapat memahami lebih dalam tentang budaya dan filosofi Jawa.