Makna Filosofis di Balik Jênang Pitu dalam Upacara Têdhak Sitèn ##

Upacara Têdhak Sitèn merupakan tradisi Jawa yang penuh makna, salah satunya diwujudkan melalui sajian jênang pitu. Jênang pitu, yang terdiri dari tujuh jenis jênang dengan warna berbeda, bukan sekadar hidangan lezat, melainkan simbol filosofis yang mendalam. Ancasé nétah bocah sadhuwuré jênang pitu ana ing upacara têdhak sitèn yaiku kanggo ngarep-arep supaya bocah mau bisa nggayuh pitung pituduh urip. Pitung pituduh urip iki dilambangake dening pitung warna jênang, yaiku: * Abang: melambangkan keberanian dan semangat juang. * Kuning: melambangkan kecerdasan dan ketajaman pikiran. * Ijo: melambangkan kesejahteraan dan kemakmuran. * Biru: melambangkan ketenangan dan kedamaian. * Putih: melambangkan kesucian dan kejujuran. * Hitam: melambangkan kekuatan dan ketabahan. * Coklat: melambangkan kehangatan dan kasih sayang. Dengan menitikan anak di atas jênang pitu, orang tua berharap anak tersebut kelak dapat memiliki sifat-sifat mulia yang dilambangkan oleh warna-warna tersebut. Tradisi ini mengajarkan kita bahwa kehidupan manusia penuh dengan tantangan dan rintangan. Namun, dengan tekad yang kuat, kecerdasan, dan sifat-sifat mulia lainnya, kita dapat menghadapinya dengan penuh keberanian dan mencapai kesuksesan. Upacara Têdhak Sitèn bukan sekadar ritual, melainkan sebuah pesan moral yang sarat makna. Melalui jênang pitu, kita diajarkan untuk menghargai nilai-nilai luhur dan berusaha menjadi pribadi yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.