Senja di Rumah Kayu **

Mentari perlahan merangkak ke peraduannya, meninggalkan langit jingga yang menyapa rumah kayu tua di ujung desa. Di terasnya, Pak Harun, lelaki tua berwajah keriput, duduk bersandar di kursi rotan, tangannya menggenggam cangkir teh hangat. Di sampingnya, Nenek Asih, istrinya, sibuk menjahit kain perca, senyum tipis menghiasi wajahnya yang teduh. Di dalam rumah, terdengar suara riuh anak-anak. Rara, cucu perempuan Pak Harun, sedang asyik bermain boneka dengan adiknya, Beni. Keduanya tertawa riang, suara mereka bergema di ruang tamu yang sederhana. "Ayah, Ibu, Rara mau cerita!" seru Rara, berlari menghampiri kakek dan neneknya. Pak Harun tersenyum hangat, "Cerita apa, sayang?" "Rara mimpi tadi malam, mimpi bertemu kakek buyut di taman bunga," jawab Rara, matanya berbinar. Nenek Asih mengelus rambut Rara, "Kakek buyutmu pasti senang mendengarnya." Senja semakin meredup, langit berubah warna menjadi ungu tua. Di teras rumah kayu, keluarga kecil itu menikmati kebersamaan mereka. Pak Harun sesekali bercerita tentang masa mudanya, membuat Rara dan Beni terkesima. Nenek Asih menyisipkan nasihat bijak di sela-sela cerita, mengajarkan nilai-nilai luhur kepada cucu-cucunya. Di tengah kehangatan senja, keluarga kecil itu merasakan kebahagiaan yang sederhana. Rumah kayu tua itu menjadi saksi bisu atas kasih sayang dan kebersamaan yang terjalin di dalamnya. Di sana, mereka saling mencintai, saling mendukung, dan saling menjaga. Pesan:** Senja di rumah kayu itu menjadi simbol kebersamaan dan kasih sayang keluarga. Walau sederhana, rumah itu penuh dengan cinta dan kebahagiaan. Kisah ini mengingatkan kita bahwa kebahagiaan sejati terletak pada keluarga, tempat kita menemukan cinta, kasih sayang, dan dukungan tanpa syarat.