Bermain Korba

Saya selalu menjadi korban. Setidaknya, itulah yang saya katakan pada diri sendiri. Saya selalu merasa seperti orang yang paling banyak menderita, dan orang lain selalu bersalah. Saya tidak bisa mengerti mengapa orang lain tidak bisa melihat penderitaan saya seperti yang saya lihat. Saya ingat waktu pertama kali saya mulai bermain korban. Saya berusia sekitar sepuluh tahun, dan teman sekelas saya, Jake, telah mengambil mainan saya. Saya sangat marah, tetapi saya tidak tahu bagaimana mengungkapkan perasaan saya. Sebagai gantinya, saya mulai menangis dan mengatakan bahwa saya sakit perut. Jake merasa bersalah dan memberi tahu saya bahwa dia akan mengembalikan mainan saya. Saya merasa seperti pemenang, tetapi sebenarnya saya hanya menipu diri sendiri. Seiring berjalannya waktu, bermain korban menjadi cara saya menghadapi situasi yang sulit. Jika saya merasa tidak dihargai atau diabaikan, saya akan mulai menangis dan mengatakan bahwa saya sakit kepala atau sedang mengalami masalah pribadi. Ini selalu membuat orang lain merasa bersalah dan memberi saya perhatian yang saya inginkan. Tapi suatu hari, semuanya berubah. Saya bermain korban di kelas, dan guru saya menangkap. Dia memanggil saya ke depan dan menegur saya karena berpura-pura sakit. Saya merasa malu dan bodoh. Saya tidak tahu bagaimana menghadapi situasi ini. Setelah itu, saya mulai bekerja keras untuk mengubah cara saya berpikir dan bertindak. Saya belajar bagaimana mengungkapkan perasaan saya dengan cara yang sehat dan konstruktif. Saya tidak lagi bermain korban, dan saya merasa lebih baik karena itu. Saya belajar bahwa bermain korban hanya membuat orang lain merasa bersalah dan tidak membantu saya. Sebaliknya, saya fokus pada bagaimana saya bisa menjadi versi terbaik dari diri saya sendiri dan membuat orang lain merasa dihargai dan dihormati.