Bagaimana Doa Orang Farisi dan Pemungut Cukai Mencerminkan Sikap Manusia terhadap Tuhan?

Dalam Injil Lukas, terdapat sebuah perumpamaan yang menarik tentang dua orang yang berdoa di Bait Allah: seorang Farisi dan seorang pemungut cukai. Perumpamaan ini, yang diceritakan oleh Yesus, bukan hanya sekadar cerita biasa, tetapi sebuah refleksi mendalam tentang bagaimana manusia mendekati Tuhan. Melalui perbandingan antara kedua orang ini, Yesus mengungkap dua sikap yang kontras terhadap Tuhan, yang masih relevan hingga saat ini.

Sikap Farisi: Kebenaran Diri Sendiri

Farisi, yang dikenal dengan ketaatannya pada hukum Taurat, berdiri di depan semua orang dan berdoa dengan lantang. Doanya penuh dengan pujian terhadap dirinya sendiri, mencantumkan semua kebaikan yang telah dilakukannya. Ia berterima kasih kepada Tuhan karena ia tidak seperti orang lain, seperti pemungut cukai, yang dianggap sebagai orang berdosa. Sikap Farisi ini mencerminkan kecenderungan manusia untuk merasa benar di hadapan Tuhan, merasa lebih baik daripada orang lain, dan mengandalkan perbuatan baik sebagai tiket masuk ke surga.

Sikap Pemungut Cukai: Penyesalan dan Kerendahan Hati

Berbeda dengan Farisi, pemungut cukai berdiri jauh-jauh, tidak berani mengangkat mukanya ke langit. Ia hanya menepuk dadanya dan berdoa, "Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini." Doanya sederhana, tanpa embel-embel, tetapi penuh dengan penyesalan dan kerendahan hati. Ia mengakui dosa-dosanya dan memohon belas kasihan Tuhan. Sikap pemungut cukai ini mencerminkan kesadaran manusia akan keterbatasannya, kebutuhan akan pengampunan, dan kerendahan hati di hadapan Tuhan.

Perbedaan Sikap: Kebenaran dan Keadilan

Perbedaan sikap antara Farisi dan pemungut cukai terletak pada pemahaman mereka tentang kebenaran dan keadilan. Farisi percaya bahwa kebenaran terletak pada perbuatan baik dan ketaatan pada hukum. Ia merasa dirinya benar karena telah melakukan semua yang diperintahkan. Namun, Yesus menunjukkan bahwa kebenaran sejati terletak pada kerendahan hati dan pengakuan dosa. Pemungut cukai, meskipun dianggap berdosa, justru menunjukkan kebenaran sejati karena ia mengakui dosa-dosanya dan memohon belas kasihan Tuhan.

Kesimpulan: Mencari Kebenaran dan Keadilan

Perumpamaan tentang Farisi dan pemungut cukai mengajarkan kita bahwa sikap yang benar di hadapan Tuhan bukanlah sikap sombong dan merasa benar sendiri, tetapi sikap rendah hati dan mengakui dosa-dosa kita. Kebenaran sejati terletak pada pengakuan dosa dan kerendahan hati, bukan pada perbuatan baik yang dilakukan untuk mendapatkan pujian. Melalui perumpamaan ini, Yesus mengajak kita untuk mendekat kepada Tuhan dengan hati yang rendah hati, mengakui keterbatasan kita, dan memohon belas kasihan-Nya.