Fase Sumpah Sati Bukik Marapalam di Minangkabau

Fase Pertama Sumpah Sati Bukik Marapalam di Minangkabau dimulai sebelum agama Islam masuk ke wilayah tersebut. Sejarawan Gust Asnan mengungkapkan bahwa sebelum Islam masuk, masyarakat Minangkabau memiliki pedoman dalam menjalani hidup dengan melihat adat sebagai guru. Mereka mengambil nilai-nilai yang diberikan adat untuk dijadikan landasan hidup. Ketika agama Islam masuk, masyarakat Minangkabau dapat dengan mudah menerimanya karena ajaran Islam tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang sudah dianut oleh masyarakat tersebut. Selain itu, ada cerita yang menyebutkan bahwa orang Minangkabau berasal dari keturunan kaum para nabi atau raja yang mempercayai dan menyembah Tuhan yang satu atau tunggal (monoteisme). Ada juga cerita yang menyebutkan bahwa orang Minangkabau berasal dari keturunan Nabi Hud, yang berlayar dari Yaman sekitar 8000 tahun sebelum masehi. Mereka berlayar mengikuti arah angin dan sampai di Pulau Paco melalui Katingan. Kemudian mereka menetap di pedalaman Pulau Paco itu melalui Batang Masang, Gunung Tandikek, Singgalang, dan Merapi. Di kawasan Gunung Marapi ini mereka membentuk taratak, koto, dan nagari. Kemudian mereka membagi wilayah tersebut menjadi lima, yaitu Luhak Nan Tigo, yaitu, Luhak Agam, Luhak Tanah Datar, Luhak Limapuluh Kota, Luhak Pagaruyung. Ada informasi yang pernah ditulis di dalam tambo bahwa mereka hidup di daerah pedalaman yang tenteram dan damai seperti waktu itu menyebutnya sebagai negeri yang dipimpin oleh Nabi-nabi. Dari sinilah kemudian dikenal nama Minangkabau. Fase Pertama Sumpah Sati Bukik Marapalam ini merupakan landasan awal dari tradisi sumpah sati di Minangkabau. Tradisi ini terus berkembang seiring dengan masuknya agama Islam dan pengaruh adat Minangkabau. Sumpah sati Bukik Marapalam menjadi simbol kekuatan dan keberanian masyarakat Minangkabau dalam mempertahankan nilai-nilai adat dan agama mereka.