Kontroversi Piagam Jakarta: Sebuah Analisis Historis

Perumusan dasar negara Republik Indonesia, Pancasila, bukanlah proses yang mulus. Perjalanan menuju kesepakatan bersama diwarnai perdebatan sengit dan kompromi politik yang rumit. Salah satu momen paling krusial dan kontroversial dalam sejarah awal kemerdekaan Indonesia adalah munculnya Piagam Jakarta, sebuah dokumen yang nyaris menjadi mukadimah konstitusi negara. Kontroversi seputar Piagam Jakarta, khususnya mengenai tujuh kata yang dihapus, menjadi perdebatan panjang yang mengguncang persatuan dan kesatuan bangsa.

Akar Kelahiran Piagam Jakarta

Pada awal Juni 1945, Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) membentuk panitia kecil yang bertugas merumuskan dasar negara. Panitia sembilan, yang diketuai oleh Ir. Soekarno, berjibaku meramu gagasan dan aspirasi dari berbagai golongan untuk menemukan titik temu. Hasilnya adalah Piagam Jakarta, sebuah dokumen yang memuat rancangan pembukaan dan batang tubuh Undang-Undang Dasar.

Piagam Jakarta lahir dari pergulatan panjang antara kelompok nasionalis dan kelompok Islam. Kelompok nasionalis menginginkan dasar negara yang bercorak kebangsaan, sementara kelompok Islam menginginkan dasar negara yang berlandaskan syariat Islam. Piagam Jakarta berusaha menjembatani kedua kubu dengan merumuskan Pancasila sebagai dasar negara dan menambahkan tujuh kata kontroversial di akhir sila pertama.

Kontroversi Tujuh Kata

Tujuh kata yang menjadi biang kontroversi adalah "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya." Penambahan frasa ini memicu reaksi keras dari masyarakat Indonesia Timur, khususnya golongan Kristen dan animisme. Mereka merasa terpinggirkan dan khawatir akan adanya diskriminasi agama di kemudian hari.

Penolakan terhadap tujuh kata semakin menguat seiring dengan beredarnya isu ancaman pemisahan dari Indonesia Timur jika frasa tersebut dipertahankan. Para pendiri bangsa pun dihadapkan pada dilema pelik: mempertahankan Piagam Jakarta dengan risiko perpecahan atau mengorbankan ego sektoral demi persatuan dan kesatuan bangsa.

Jalan Kompromi Menuju Persatuan

Demi menjaga keutuhan bangsa yang baru saja merdeka, para founding fathers memilih jalan kompromi. Pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah proklamasi kemerdekaan, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menggelar sidang untuk membahas nasib Piagam Jakarta.

Dalam sidang yang berlangsung alot, Mohammad Hatta, atas usul para tokoh dari Indonesia Timur, mengusulkan penghapusan tujuh kata kontroversial. Usulan ini disetujui oleh mayoritas anggota PPKI, menandai babak baru dalam sejarah konstitusi Indonesia.

Warisan Piagam Jakarta bagi Indonesia

Kontroversi Piagam Jakarta memberikan pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia tentang pentingnya musyawarah mufakat, toleransi, dan persatuan dalam membangun negara. Keputusan untuk menghapus tujuh kata bukanlah kekalahan bagi golongan Islam, melainkan kemenangan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Hingga kini, Piagam Jakarta tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah konstitusi Indonesia. Dokumen ini menjadi pengingat bahwa Pancasila adalah hasil kompromi politik yang adil dan bijaksana, sebuah konsensus kebangsaan yang mempersatukan seluruh elemen bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.