Ijab Kabul dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif Indonesia

Pernikahan, sebuah ikatan suci yang mempersatukan dua insan dalam bahtera rumah tangga, memiliki makna yang sangat sakral dalam Islam. Sebagai agama yang sempurna, Islam mengatur secara rinci setiap aspek kehidupan, termasuk pernikahan. Salah satu rukun yang tak terpisahkan dari sahnya pernikahan dalam Islam adalah ijab kabul. Prosesi ijab kabul merupakan simbolisasi dari kesepakatan dan komitmen yang kuat antara kedua belah pihak untuk mengarungi kehidupan bersama. Di Indonesia, negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, hukum Islam dan hukum positif berjalan beriringan, termasuk dalam hal pernikahan. Bagaimana perspektif hukum Islam dan hukum positif Indonesia terhadap ijab kabul?

Esensi Ijab Kabul dalam Pernikahan

Dalam Islam, pernikahan dipandang sebagai mitsaqan ghalizha, yaitu perjanjian yang sangat kuat. Ijab kabul menjadi inti dari perjanjian tersebut, di mana terjadi serah terima tanggung jawab antara wali dari pihak perempuan kepada calon suami. Ijab kabul harus diucapkan dengan jelas, tanpa keraguan, dan disaksikan oleh minimal dua orang saksi laki-laki yang adil. Tidak hanya sebagai syarat sahnya pernikahan, ijab kabul juga mencerminkan penghormatan terhadap perempuan dan keluarganya.

Hukum Positif Indonesia tentang Ijab Kabul

Hukum positif Indonesia, yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, juga mengakui pentingnya ijab kabul. Pasal 1 UU Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, jika dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Hal ini menunjukkan bahwa hukum positif Indonesia memberikan ruang bagi setiap agama, termasuk Islam, untuk menerapkan aturannya sendiri dalam hal perkawinan, termasuk ijab kabul.

Sinkronisasi Ijab Kabul dalam Hukum Islam dan Hukum Positif

Meskipun terdapat perbedaan mendasar antara hukum Islam dan hukum positif, namun dalam hal ijab kabul, keduanya memiliki titik temu. Hukum Islam memandang ijab kabul sebagai rukun sahnya pernikahan, sementara hukum positif Indonesia menjadikannya sebagai syarat administratif. Keduanya sama-sama menekankan pentingnya kesepakatan dan kesetaraan antara kedua belah pihak dalam melangsungkan pernikahan.

Implikasi Perbedaan Perspektif

Perbedaan perspektif antara hukum Islam dan hukum positif terhadap ijab kabul dapat menimbulkan beberapa implikasi. Salah satunya adalah perbedaan dalam pencatatan pernikahan. Dalam Islam, pencatatan pernikahan tidak menjadi syarat sahnya pernikahan, namun sangat dianjurkan. Sementara itu, hukum positif Indonesia mewajibkan pencatatan pernikahan sebagai bukti otentik dari pernikahan yang sah.

Ijab kabul merupakan elemen krusial dalam pernikahan dalam Islam. Hukum positif Indonesia, dengan mengakui ijab kabul sebagai bagian dari hukum agama, menunjukkan penghormatannya terhadap nilai-nilai Islam. Meskipun terdapat perbedaan perspektif, namun keduanya memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk melindungi hak dan kewajiban suami istri serta menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah.