Di Balik Senyum Pagi, Bayangan Kematian Menyapa **

Subuh itu, seperti biasa, menyapa dengan lembut. Sinar mentari mengintip dari balik jendela, menyapa pagi yang damai. Namun, di balik senyum pagi itu, bayangan kematian menyapa. Suara sepatu boots berdentum keras, menggetarkan rumah kami. Teriakan-teriakan kasar menggema, "Bapak Jenderal! Bapak Jenderal!" Aku terbangun, mataku masih berat, mengantuk. Ibu dan Bapak berada di sampingku. Kami di lantai atas, sementara di bawah, keributan semakin menjadi-jadi. Sepupu dan paman berusaha menghalau para pasukan pembelot yang datang dengan truk-truk penuh. "Tulang, tulang jangan turun!" teriak sepupu, suaranya bergetar. Dua tembakan menggema, paman dan sepupu terkapar. Aku terdiam, tubuhku gemetar. Rasa takut mencengkeram hatiku. Para pembelot itu terus menerobos masuk. Mereka mencari Bapak. Pembantu kami, dengan wajah pucat, menunjuk ke arah kamar kami. "Ndoromu mana?" tanya mereka. Aku teringat telepon paralel di rumah. Kabelnya terputus, kami tak bisa meminta bantuan. "Bapak!" teriakku, suaraku teredam oleh suara sepatu boots yang semakin dekat. Saat itu, aku hanya bisa berdoa. Berdoa agar Bapak selamat. Berdoa agar kami semua selamat. Namun, takdir berkata lain. Bapak dibawa pergi, meninggalkan kami dalam kesedihan dan keputusasaan. Senyum pagi itu sirna, digantikan oleh bayangan kematian yang menghantui. Aku masih ingat, saat itu aku baru berusia 17 tahun. Aku masih ingat, bagaimana Bapak selalu tersenyum, bagaimana Bapak selalu menyapa kami dengan hangat. Dan kini, hanya kenangan yang tersisa. Kenangan tentang Bapak, tentang senyum pagi yang terenggut oleh kekejaman. Catatan: Monolog ini ditulis dari sudut pandang anak DI Panjaitan, Catherine, yang menceritakan pengalamannya saat peristiwa penculikan ayahnya pada 1 Oktober 1965. Monolog ini menggambarkan suasana mencekam dan penuh ketakutan yang dialami keluarga DI Panjaitan saat itu. Pesan:** Monolog ini mengingatkan kita tentang pentingnya menghargai jasa para pahlawan yang telah berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Kisah ini juga mengingatkan kita tentang pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan bangsa agar tragedi serupa tidak terulang kembali.