Kepingan Kaca di Hati Ibu **

** Tangannya gemetar saat menekan tombol panggilan. Suara di seberang, suara yang tak asing, namun terasa begitu jauh, menjawab dengan nada datar. "Halo, Ma?" "Kamu di mana, Nak?" Suara Ibu bergetar, menahan tangis yang mengancam meledak. "Aku di hotel, Ma. Lagi jalan-jalan sama teman." "Hotel? Sama teman? Kenapa kamu nggak bilang sama Ibu?" "Nggak apa-apa, Ma. Ini cuma liburan singkat. Besok kita pulang kok." Kepingan kaca tajam menusuk hati Ibu. Anak perempuannya, yang masih kecil di matanya, yang selalu bermanja dan meminta perlindungan, kini berada di hotel, bersama teman-temannya. Ibu teringat saat anak perempuannya masih kecil, selalu berpegangan erat pada roknya, matanya berbinar saat Ibu membacakan dongeng sebelum tidur. Ibu teringat saat anak perempuannya mulai beranjak remaja, mencoba merangkak keluar dari pelukan Ibu, mencari jati dirinya sendiri. "Kamu harus hati-hati, Nak. Jangan sampai terjadi apa-apa." Suara Ibu berbisik, mencoba menahan kepanikan yang menggerogoti hatinya. "Iya, Ma. Aku janji." "Kapan kamu pulang?" "Besok, Ma. Nanti aku kabarin lagi." "Ya sudah, Nak. Ibu tunggu kamu di rumah." Ibu menutup telepon, tangannya masih gemetar. Kepingan kaca itu masih tertancap di hatinya, mengingatkannya bahwa anak perempuannya sudah tumbuh dewasa, sudah memiliki dunianya sendiri. Ibu mencoba tersenyum, mencoba untuk tenang. Dia tahu, anak perempuannya akan kembali, akan kembali ke pelukannya. Tapi, kepingan kaca itu akan tetap tertinggal di hatinya, mengingatkannya tentang kehilangan dan ketakutan yang tak terlupakan.