Pentingnya Mengakui Realitas
4 (271 suara) Marno dan Jane duduk di sofa, masing-masing dengan gelas scotch dan merenung melalui jendela. Marno mengangkat gelasnya dan mengangguk ke arah bulan.
"Bulan itu ungu, Marno," katanya dengan nada yang penuh kepercayaan.
Marno mengangguk, tetapi dengan rasa tidak percaya. "Kau masih ingin memaksaku untuk percaya itu?" tanyanya dengan nada yang penuh keraguan.
Jane mengangguk dengan tegas. "Ya, tentu saja. Kekasihku. Ayolah, akui itu ungu, bukan?"
Marno mengangguk lagi, tetapi dengan rasa tidak percaya. "Jika bulan itu ungu, apa warna langit dan mendungnya?" tanyanya dengan nada yang penuh kebingungan.
Jane mengangguk dengan tegas. "Oh, aku tidak terlalu peduli tentang langit dan mendung. Bulan itu ungu, Marno. U-ng-u! Ayolah, percayalah. Ungu!"
Marno mengangguk lagi, tetapi dengan rasa tidak percaya. "Kuning keemasan!" katanya dengan nada yang penuh kebingungan.
Jane mengangguk dengan tegas. "Setan! Besok aku membawamu ke dokter inata."
Marno mengangguk lagi, tetapi dengan rasa tidak percaya. "Kuning keemasan!" katanya dengan nada yang penuh kebingungan.
Jane mengangguk dengan tegas. "Setan! Besok aku membawamu ke dokter inata."
Marno mengangguk lagi, tetapi dengan rasa tidak percaya. "Kuning keemasan!" kat nada yang penuh kebingungan.
Jane mengangguk dengan tegas. "Setan! Besok aku membawamu ke dokter inata."
Marno mengangguk lagi, tetapi dengan rasa tidak percaya. "Kuning keemasan!" katanya dengan nada yang penuh kebingungan.
Jane mengangguk dengan tegas. "Setan! Besok aku membawamu ke dokter inata."
Marno mengangguk lagi, tetapi dengan rasa tidak percaya. "Kuning keemasan!" katanya dengan nada yang penuh kebingungan.
Jane mengangguk dengan tegas. "Setan! Besok aku membawamu ke dokter inata."
Marno mengangguk lagi, tetapi dengan rasa tidak percaya. "Kuning keemasan!" katanya dengan nada yang penuh kebingungan.
Jane mengangguk dengan tegas. "Setan! Besok aku membawamu ke dokter inata."
Marno mengangguk lagi, tetapi dengan rasa tidak percaya. "Kuning keemasan!" katanya dengan nada yang penuh kebingungan.
Jane mengangguk dengan tegas. "Setan! Besok aku membawamu ke dokter inata."
Marno mengangguk lagi, tetapi dengan rasa tidak percaya. "Kuning keemasan!" katanya dengan nada yang penuh kebingungan.
Jane mengangguk dengan tegas. "Setan! Besok aku membawamu ke dokter inata."
Marno mengangguk lagi, tetapi dengan rasa tidak percaya. "Kuning keemasan!" katanya dengan nada yang penuh kebingungan.
Jane mengangguk dengan tegas. "Setan! Besok aku membawamu ke dokter inata."
Marno mengangguk lagi, tetapi dengan rasa tidak percaya. "Kuning keemasan!" katanya dengan nada yang penuh kebingungan.
Jane mengangguk dengan tegas. "Setan! Besok aku membawamu ke dokter inata."
Marno mengangguk lagi, tetapi dengan rasa tidak percaya. "Kuning keemasan!" katanya dengan nada yang penuh kebingungan.
Jane mengangguk dengan tegas. "Setan! Besok aku membawamu ke dokter inata."
Marno mengangguk lagi, tetapi dengan rasa tidak percaya. "Kuning keemasan!" katanya dengan nada yang penuh kebingungan.
Jane mengangguk dengan tegas. "Setan! Besok aku membawamu ke dokter inata."
Marno mengangguk lagi, tetapi dengan
