Strategi Politik dan Diplomasi Sultanah Safiatuddin dalam Mempertahankan Kerajaan Aceh

Kesultanan Aceh mencapai puncak kejayaannya di bawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda pada abad ke-17. Namun, kejayaan ini menghadapi tantangan berat setelah kematiannya. Di tengah situasi yang penuh gejolak, Sultanah Safiatuddin, permaisuri Sultan Iskandar Muda, naik tahta. Kepemimpinannya menandai era baru bagi Aceh, di mana strategi politik dan diplomasi yang cerdik menjadi kunci utama dalam mempertahankan kedaulatan kerajaan.

Menjaga Stabilitas Internal Kerajaan

Salah satu strategi utama Sultanah Safiatuddin adalah menjaga stabilitas internal kerajaan. Pasca wafatnya Sultan Iskandar Muda, perebutan kekuasaan menjadi ancaman nyata. Sultanah Safiatuddin dengan bijaksana meredam potensi konflik dengan mengangkat tokoh-tokoh penting dari berbagai faksi dalam pemerintahannya. Kebijakan ini berhasil meredakan ketegangan dan membangun konsensus di antara para elit kerajaan, sehingga memperkuat fondasi pemerintahannya.

Diplomasi Cerdas dengan Kekuatan Asing

Selain fokus pada stabilitas internal, Sultanah Safiatuddin juga piawai dalam menjalin hubungan diplomatik. Ia menyadari pentingnya menjaga hubungan baik dengan kekuatan asing, terutama dalam menghadapi ancaman dari Portugis yang masih berambisi menguasai Selat Malaka. Sultanah Safiatuddin aktif menjalin korespondensi dan mengirimkan utusan ke berbagai kerajaan, seperti Turki Utsmani, Inggris, dan Belanda.

Memanfaatkan Perdagangan untuk Kemakmuran Aceh

Strategi Sultanah Safiatuddin dalam mempertahankan Kerajaan Aceh juga tercermin dalam kebijakan ekonomi. Ia memahami bahwa perdagangan merupakan tulang punggung perekonomian Aceh. Untuk itu, ia berupaya menciptakan iklim perdagangan yang kondusif dan menarik minat para pedagang asing. Pelabuhan-pelabuhan di Aceh, seperti Banda Aceh dan Pidie, menjadi ramai disinggahi oleh kapal-kapal dagang dari berbagai penjuru dunia.

Mempertahankan Identitas dan Kearifan Lokal

Di tengah arus globalisasi dan pengaruh asing, Sultanah Safiatuddin tidak lengah dalam menjaga identitas dan kearifan lokal Aceh. Ia tetap mempertahankan nilai-nilai Islam sebagai landasan utama dalam menjalankan pemerintahan. Dukungan terhadap perkembangan seni dan budaya lokal juga terus diberikan, sehingga Aceh tetap dikenal sebagai pusat kebudayaan Islam di Asia Tenggara.

Kepemimpinan Sultanah Safiatuddin menorehkan tinta emas dalam sejarah Kerajaan Aceh. Strategi politik dan diplomasi yang ia terapkan berhasil mempertahankan kedaulatan Aceh di tengah gejolak internal dan ancaman eksternal. Kebijakannya yang berfokus pada stabilitas, diplomasi, dan perdagangan, serta pelestarian budaya, menjadikan Aceh sebagai kerajaan yang tangguh dan disegani di masanya.