Keabadian dalam Impian

Impian Keabadian Pertama kali kubuka mata, yang tampak adalah sebuah kamar tidur yang mewah. Aku terbaring di atas ranjang berukuran besar dengan seprai tebal berwarna biru muda yang terbuat dari bahan kualitas terbaik. Selimutnya lembut, berbulu halus, dan harum. Di samping ranjang, ada bufet kecil dengan vas bunga di atasnya. Mawar merah segar yang ada di vas itu memberi suasana menyegarkan. Dinding ruangan ini terkesan kokoh dan anggun, dilapisi kertas tembok mengkilap. Selain sebuah cermin besar, ada sejumlah lukisan tergantung di dinding. Salah satu lukisan menggambarkan seorang laki-laki dan perempuan, duduk bersanding mesra. Mereka tersenyum, seperti pasangan suami-istri yang berbahagia. Laki-laki terlihat gagah dan tampan, dengan usia yang kutaksir sekitar awal 40-an. Sedangkan perempuan berambut panjang terurai, sangat jelita, dan berumur kira-kira sepuluh tahun lebih muda dari pasangannya. Selain itu, ada tiga foto terpisah yang menunjukkan tiga gadis kecil dengan usia yang berbeda-beda. Mungkin ini tiga putri dari pasangan tersebut. Tubuhku terasa nyaman dan enteng, seperti baru bangun dari tidur lelap yang panjang. Baru kuperhatikan kemudian, ternyata aku memakai piyama dari bahan katun halus. Aku pun bangkit dari pembaringan dan duduk bersila di ranjang. Ada perasaan aneh yang tak kupahami. Aku tak tahu sedang berada di mana dan bagaimana bisa sampai di ruangan ini. Yang lebih membingungkan lagi, aku bahkan tak ingat siapa diriku ini. Apakah aku sedang bermimpi? Pintu kamar terbuka. Seorang perempuan masuk, membawa segelas teh hangat dengan tatakan. Wajahnya persis seperti perempuan di lukisan tersebut. Bibirnya menyunggingkan senyum ketika melihatku sudah bangun. "Ah, selamat pagi, Mas Yunus! Sudah bangun rupanya. Ini kubawakan teh aroma melati kesenanganmu," ujarnya, seraya meletakkan segelas teh itu di meja kecil di samping tempat tidur. Impian Keabadian Dalam keadaan bingung dan tak tahu apa yang sedang terjadi, aku mencoba mengingat-ingat apa yang terakhir kali kuingat. Namun, semakin aku berusaha, semakin kabur ingatan itu. Aku merasa seperti terjebak dalam dunia yang aneh dan tak nyata. Saat aku menyeruput teh hangat itu, aroma melati yang harum memenuhi ruangan. Aku merasa tenang dan nyaman. Perempuan yang tadi masuk ke kamar itu duduk di sampingku, tersenyum lembut. "Mas Yunus, apakah kamu ingat aku?" tanyanya dengan penuh kehangatan. Aku menggelengkan kepala, mengakui kebingunganku. "Maaf, aku benar-benar tak ingat apa-apa. Siapa kamu sebenarnya?" Perempuan itu tersenyum lagi, kali ini dengan sedikit kesedihan di matanya. "Aku adalah istri tercintamu, Mas Yunus. Kita telah hidup bersama selama puluhan tahun. Kita memiliki tiga putri yang cantik dan cerdas. Namun, sepertinya kamu kehilangan ingatanmu." Aku terkejut mendengar kata-kata perempuan itu. Bagaimana mungkin aku bisa kehilangan ingatan? Aku mencoba memahami apa yang dikatakannya, tetapi semakin aku berusaha, semakin sulit aku mengingat. Perempuan itu menggenggam tanganku erat. "Jangan khawatir, Mas Yunus. Kita akan menghadapinya bersama-sama. Aku akan selalu ada di sampingmu, membantumu mengingat kembali siapa dirimu dan kehidupan yang kita jalani bersama." Aku merasa