Bunga di Reruntuhan **

Senja menyapa dengan warna jingga yang memudar, menyapa hati Aira yang juga memudar. Di taman belakang rumahnya, ia duduk di ayunan kayu yang sudah lapuk, menatap langit yang mulai gelap. Angin berbisik lembut, membawa aroma tanah basah dan daun kering, seakan menyapa kesedihan yang menyelimuti Aira. Rumahnya, yang dulu dipenuhi tawa dan canda, kini terasa hampa. Suara pertengkaran orang tuanya yang dulu sering terdengar, kini berganti dengan keheningan yang mencekam. Rumah yang dulu menjadi tempat berlindung, kini terasa seperti penjara yang mengurungnya dalam kesedihan. Aira teringat masa kecilnya, saat ia masih bermain petak umpet di taman ini bersama kedua orang tuanya. Saat itu, senyum mereka selalu terpancar, membuat hatinya hangat. Namun, seiring berjalannya waktu, senyum itu perlahan memudar, digantikan oleh kerutan dan amarah. Perpisahan orang tuanya menjadi pukulan telak bagi Aira. Ia merasa dunia runtuh, harapannya hancur berkeping-keping. Ia merasa sendirian, terombang-ambing dalam lautan kesedihan. Namun, di tengah reruntuhan rumah tangganya, Aira menemukan kekuatan baru. Ia belajar untuk tegar, untuk menghadapi kenyataan pahit yang harus ia jalani. Ia belajar untuk mencintai dirinya sendiri, untuk menemukan kebahagiaan di tengah kesedihan. Aira menyadari bahwa meskipun rumah tangganya hancur, ia masih memiliki dirinya sendiri. Ia masih memiliki mimpi, harapan, dan semangat untuk hidup. Ia akan terus melangkah maju, menata kembali hidupnya, dan menebarkan bunga-bunga indah di atas reruntuhan rumah tangganya. Catatan:** Cerita ini menggambarkan perasaan seorang gadis yang mengalami broken home dengan fokus pada kesedihan dan kekuatan yang ia temukan untuk bangkit. Cerita ini tidak mengandung unsur sensitif dan ditulis dengan gaya deskriptif yang menekankan pada emosi dan pengalaman Aira.