Strategi Perjuangan Tanpa Kekerasan dalam Perjuangan Kasunanan Surakart

Dalam perjuangan Kasunanan Surakarta, terdapat tiga karakteristik yang membedakan mereka dari pihak pertama. Pertama, mereka cenderung menggunakan jimat-jimat dan tirakat sebagai sarana untuk menghadapi kekuatan militer kolonial Belanda. Keempat kyai yang terlibat dalam peristiwa Pakepung mempengaruhi Sunan Paku Buwana IV yang masih muda dengan menjanjikan keberhasilan melalui kekuatan mereka yang diperoleh dari nenepi atau tirakat dan berbagai bentuk rajah atau jimat. Strategi ini menunjukkan kecenderungan revivalisme dalam perjuangan mereka (Sumber: Ibid, hlm. 109). Kedua, Kasunanan Surakarta cenderung memilih perjuangan tanpa kekerasan. Mereka mengadopsi strategi perjuangan alternatif yang menaruh sikap hormat terhadap nilai-nilai moral lawan. Perjuangan tanpa kekerasan bukanlah strategi yang mematikan akal, tetapi membuka pintu menuju negosiasi dan membangun sistem saling mempercayai yang lebih mapan (Sumber: Dikutip dalam Siswanto Masruri, Humanitarianisme Soedjatmoko, Visi Kemanusiaan Kontemporer, Yogyakarta: PILAR, 2005, hlm. 389). Ketiga, dalam pengalaman keagamaan, Kasunanan Surakarta cenderung mengikuti cara bersikap dalam pengertian objektivikasi Islam. Objektivikasi Islam adalah konkretisasi keyakinan yang dihayati secara internal. Suatu perbuatan dikatakan obyektif jika bisa dirasakan juga oleh orang non-Muslim sebagai sesuatu yang natural atau alamiah dan wajar, tidak sebagai perbuatan keagamaan. Objektivikasi adalah perbuatan rasional nilai yang diwujudkan ke dalam perbuatan rasional, sehingga orang luar pun dapat menikmatinya tanpa harus menyetujui nilai-nilai asalnya (Islam). Kasunanan Surakarta mengobjektifkan ajaran Islam melalui kesetiakawanan nasional, yang merupakan nilai-nilai Islam tentang ukhuwah (Sumber: Kuntowidjoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, 1997, hlm. 69-70). Pada sisi lain, bangsa Belanda sebagai penganut agama Kristen yang teguh, memiliki dampak keagamaan yang kuat dalam berbagai bidang kehidupan. Bagi priyayi, yang merupakan golongan pribumi yang berpendidikan, lebih mudah untuk menyelaraskan diri dan bersikap toleran terhadap keagamaan mereka. Namun, bagi para santri (kyai), yang merupakan pemimpin agama, situasinya lebih sulit karena mereka seringkali terlibat dalam pertempuran dengan Belanda. Peristiwa ini menciptakan situasi yang buruk bagi kedua belah pihak, yang merasa berjumpa dalam situasi yang tidak menguntungkan (Sumber: Masroer Ch. Jb., Sejarah Perjumpaan Agama-Agama di Jawa, Yogyakarta: ar-Ruzz Jogjakarta, 2004, hlm. 50-51). Dalam perjuangan Kasunanan Surakarta, strategi perjuangan tanpa kekerasan menjadi pilihan yang diambil. Mereka mengandalkan jimat-jimat dan tirakat sebagai sarana untuk menghadapi kekuatan Belanda, namun tetap menjunjung nilai-nilai moral dan menjalin negosiasi dengan pihak lawan. Selain itu, mereka juga mengobjektifkan ajaran Islam melalui kesetiakawanan nasional. Meskipun terdapat perbedaan dalam cara bersikap antara Kasunanan Surakarta dan Belanda, mereka berusaha untuk menjaga toleransi dan saling memahami dalam situasi yang sulit.