Cinta yang Tersembunyi di Balik Benci **

** Erin, dengan pipinya yang memerah, menatap tajam ke arah Mocafh yang sedang asyik mengobrol dengan teman-temannya. "Aku benci dia," gumamnya, tangannya mengepal erat. Lia, sahabat Erin, terkekeh. "Seriusan, Bro? Serius berhenti menjahili si cengeng Mocafh itu. Dia bahkan hampir pipis di celananya." Erin mendengus. "Dia pria cengeng menyebalkan dan aku tak akan berhenti. Bocah itu pantas dimarahi. Mukanya membuatku sebal dan aku ingin memukulnya." Bery, sahabat Erin lainnya, menatap Erin dengan khawatir. "Obsesimu terhadap menyiksa Mocafh mulai menghawatirkan. Kau yakin ini bukan dendam atau kecemburuan? Atau apakah... cinta?" Lia mencibir. "Bagaimana membully tiap hari itu rasa cinta, Bery?" Bery menggeleng. "Ya, pembuli tidak mungkin selalu menemui yang di-bully setiap hari, bahkan menyimpan foto mereka di sakunya. Dan juga memukuli orang lain yang ikutan membulinya. Jujur, apa yang kau rasa ini? Mulai menyedihkan, Erin." Erin terdiam, matanya berkaca-kaca. "Oke, Bery, aku tak suka dia disakiti orang lain. Hanya aku... hanya aku yang boleh menedang bokong bajingan itu." Bery menghela napas, melihat Erin yang sedang memerah. "Dasar yandere mengerikan. Mocafh pasti mati duluan karena mental sebelum Erin benar mengerti apa yang dia rasakan ke Mocafh, bahwa itu cinta. Yah, apa pun itu, kuharap si kecil Erin segera paham dan berhenti menjadi brengsek ke Mocafh." Hari demi hari berlalu, dan Erin masih terus menyiksa Mocafh. Namun, di balik semua itu, Erin mulai menyadari bahwa dia selalu mencari perhatian Mocafh. Dia selalu ingin berada di dekatnya, bahkan jika itu berarti harus membuatnya kesal. Suatu hari, Mocafh terjatuh dan terluka saat bermain basket. Erin, yang awalnya ingin menertawakannya, malah panik dan langsung menghampiri Mocafh. Dia membantu Mocafh berdiri dan mengantarnya ke ruang kesehatan. Di ruang kesehatan, Erin melihat Mocafh yang sedang terbaring lemah. Rasa bersalah dan khawatir memenuhi hatinya. Dia menyadari bahwa dia tidak ingin melihat Mocafh terluka, bahkan sedikit pun. Erin duduk di samping Mocafh, tangannya menggenggam erat tangan Mocafh. "Maaf," bisiknya, suaranya bergetar. "Aku... aku tidak bermaksud menyakitimu." Mocafh membuka matanya dan menatap Erin. "Tidak apa-apa," jawabnya, tersenyum tipis. "Aku tahu kau hanya bercanda." Erin terdiam, matanya berkaca-kaca. Dia menyadari bahwa dia telah salah memahami perasaannya. Dia tidak membenci Mocafh, dia mencintainya. Sejak hari itu, Erin mulai berubah. Dia berhenti menyiksa Mocafh dan malah berusaha menjadi teman yang baik baginya. Dia mulai memahami bahwa cinta tidak selalu harus diungkapkan dengan kata-kata, tetapi juga dengan tindakan. Erin masih belum berani mengungkapkan perasaannya kepada Mocafh, tetapi dia tahu bahwa dia akan terus berusaha menjadi orang yang lebih baik untuknya. Dia berharap suatu hari Mocafh akan menyadari bahwa di balik semua kekasarannya, tersembunyi sebuah cinta yang tulus.