Makna Filosofi Mao Zedong dalam Revolusi Kebudayaan China

Filsuf revolusioner Mao Zedong meninggalkan jejak yang tak terlupakan dalam sejarah Tiongkok, dan pemikirannya terus membentuk lanskap politik dan sosial negara itu hingga saat ini. Inti dari warisannya terletak pada interpretasinya yang unik tentang Marxisme-Leninisme, yang dikenal sebagai Pemikiran Mao Zedong, yang ia terapkan untuk merekayasa transformasi radikal masyarakat Tiongkok melalui Revolusi Kebudayaan. Periode pergolakan sosial dan politik yang besar ini, yang berlangsung dari tahun 1966 hingga 1976, bertujuan untuk membersihkan Tiongkok dari pengaruh kapitalis dan tradisional, yang pada akhirnya membentuk kembali kesadaran budaya bangsa.

Akar Ideologis Pemikiran Mao Zedong

Pemikiran Mao Zedong, yang merupakan perpaduan dari Marxisme-Leninisme dengan karakteristik khusus Tiongkok, memberikan kerangka kerja ideologis untuk Revolusi Kebudayaan. Inti dari filosofi Mao adalah keyakinan yang tak tergoyahkan pada kekuatan revolusioner dari kaum tani, yang ia yakini sebagai kekuatan pendorong sejati di balik perubahan sosial. Hal ini berbeda dengan interpretasi Marxis ortodoks, yang menekankan peran proletariat perkotaan dalam memimpin revolusi. Mao berteori bahwa Tiongkok, dengan populasi petani yang sangat besar, harus memanfaatkan energi revolusioner dari kaum tani untuk mencapai sosialisme.

Peran Perjuangan Kelas dalam Revolusi Kebudayaan

Perjuangan kelas adalah prinsip utama yang mendasari Revolusi Kebudayaan. Mao berpendapat bahwa masyarakat, bahkan setelah pembentukan masyarakat sosialis, mengandung kontradiksi dan perjuangan kelas yang terus-menerus. Ia mengidentifikasi adanya "kapitalis jalanan" di dalam Partai Komunis itu sendiri dan berbagai sektor masyarakat, yang ia yakini berusaha untuk mengembalikan kapitalisme dan merusak revolusi. Revolusi Kebudayaan, dalam pandangan Mao, diperlukan untuk membersihkan unsur-unsur kontra-revolusioner ini dan untuk mempertahankan kemurnian ideologis sosialisme.

Empat Orang Tua sebagai Target Revolusi Kebudayaan

Untuk mencapai transformasi budaya yang komprehensif, Revolusi Kebudayaan menargetkan apa yang disebut Mao sebagai "Empat Orang Tua": kebiasaan lama, budaya lama, kebiasaan lama, dan pemikiran lama. Unsur-unsur tradisional masyarakat Tiongkok ini dipandang sebagai penghalang kemajuan sosialis dan sebagai sisa-sisa feodalisme dan kapitalisme. Serangan terhadap Empat Orang Tua terwujud dalam penghancuran situs-situs sejarah, penindasan terhadap para intelektual dan seniman, dan penindasan terhadap ekspresi budaya tradisional. Tujuannya adalah untuk mencabut Tiongkok dari masa lalunya dan menciptakan identitas budaya baru yang selaras dengan nilai-nilai sosialis.

Garda Merah: Pelaksana Pemikiran Mao Zedong

Garda Merah, yang sebagian besar terdiri dari mahasiswa, muncul sebagai kekuatan pendorong di balik Revolusi Kebudayaan, yang dengan bersemangat merangkul Pemikiran Mao Zedong dan ideologinya. Termotivasi oleh semangat revolusioner dan kesetiaan yang tak tergoyahkan kepada Mao, Garda Merah membentuk unit-unit paramiliter, mengorganisir rapat umum massa, dan secara aktif berpartisipasi dalam pembersihan ideologis. Mereka diberi wewenang untuk menantang figur otoritas, termasuk pejabat pemerintah, intelektual, dan bahkan orang tua mereka sendiri, yang mereka anggap sebagai kontra-revolusioner atau berideologi tidak murni. Tindakan Garda Merah, meskipun didorong oleh keyakinan ideologis, sering kali mengakibatkan kekacauan yang meluas, kekerasan, dan penghancuran harta benda budaya.

Revolusi Kebudayaan, yang dipandu oleh Pemikiran Mao Zedong, merupakan periode pergolakan sosial dan transformasi yang mendalam dalam sejarah Tiongkok. Penekanan Mao pada perjuangan kelas, pembersihan ideologis, dan transformasi budaya meninggalkan jejak yang tak terlupakan pada jiwa bangsa, yang membentuk lintasan politik, sosial, dan budaya Tiongkok selama beberapa dekade mendatang.