Ketika Ejekan Berubah Menjadi Pelajaran **

** Di bangku sekolah dasar, aku adalah anak yang pendiam dan pemalu. Kacamata tebal dan seragam yang selalu kusut menjadi sasaran empuk bagi teman-teman sekelas. Setiap hari, aku dihujani ejekan dan cibiran. "Kacamata minus," "Si kutu buku," "Bajumu jelek," begitulah beberapa contohnya. Awalnya, aku merasa terpuruk. Rasa malu dan ketidakpercayaan diri menyelimuti diriku. Aku sering menangis di kamar mandi sekolah, berharap bisa menghilang dari dunia yang kejam ini. Namun, seiring berjalannya waktu, aku mulai menyadari bahwa ejekan mereka hanyalah cerminan dari ketidakamanan mereka sendiri. Mereka berusaha menutupi kekurangan diri dengan merendahkan orang lain. Aku memutuskan untuk tidak membiarkan ejekan mereka menghancurkan diriku. Aku mulai fokus pada hal-hal yang aku sukai, seperti membaca dan menulis. Aku juga berusaha untuk lebih percaya diri dan menunjukkan kepada mereka bahwa aku tidak terpengaruh oleh kata-kata mereka. Perlahan tapi pasti, ejekan mereka mulai berkurang. Mereka menyadari bahwa aku tidak akan mudah menyerah. Aku bahkan mulai mendapatkan teman baru yang menghargai diriku apa adanya. Pengalaman itu mengajarkan aku bahwa ejekan bukanlah akhir dari segalanya. Justru, ejekan bisa menjadi motivasi untuk menjadi pribadi yang lebih kuat dan tangguh. Aku belajar untuk tidak membiarkan orang lain mendefinisikan diriku. Aku adalah pencipta kisah hidupku sendiri, dan aku berhak untuk menentukan siapa aku dan apa yang ingin aku capai.