Apakah Tawassul Benar-benar Diperbolehkan dalam Islam?

Dalam dunia Islam, terdapat berbagai macam praktik dan keyakinan yang dianut oleh umat Muslim. Salah satu yang sering menjadi perdebatan adalah tawassul, yaitu permohonan kepada Allah SWT melalui perantara makhluk-Nya. Apakah tawassul benar-benar diperbolehkan dalam Islam? Pertanyaan ini telah menjadi topik diskusi yang hangat di kalangan para ulama dan umat Muslim selama berabad-abad. Artikel ini akan membahas secara mendalam tentang tawassul, menganalisis dalil-dalil yang mendukung dan menentang praktik ini, serta memberikan pemahaman yang lebih komprehensif tentang hukum tawassul dalam Islam.

Memahami Konsep Tawassul

Tawassul, secara bahasa, berarti "perantara" atau "penghubung". Dalam konteks agama Islam, tawassul merujuk pada permohonan kepada Allah SWT melalui perantara makhluk-Nya, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal. Contohnya, seseorang mungkin memohon kepada Allah SWT melalui perantara Nabi Muhammad SAW, para malaikat, atau orang-orang saleh.

Dalil-Dalil yang Mendukung Tawassul

Para pendukung tawassul berpendapat bahwa praktik ini memiliki dasar yang kuat dalam Al-Quran dan Hadits. Salah satu dalil yang sering dikutip adalah firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 255:

> "Dia-lah Allah, Yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Raja yang menguasai segala sesuatu. Tiada sesuatu pun yang dapat menolak kekuasaan-Nya. Dan Dialah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana."

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah SWT adalah satu-satunya yang berhak disembah dan bahwa Dia memiliki kekuasaan atas segala sesuatu. Namun, ayat ini tidak secara eksplisit melarang tawassul.

Selain itu, terdapat beberapa hadits yang mendukung praktik tawassul. Salah satunya adalah hadits riwayat At-Tirmidzi yang menceritakan tentang seorang sahabat Nabi yang memohon kepada Allah SWT melalui perantara Nabi Muhammad SAW. Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak melarang sahabatnya untuk memohon kepada Allah SWT melalui perantara beliau.

Dalil-Dalil yang Menentang Tawassul

Di sisi lain, terdapat juga dalil-dalil yang menentang praktik tawassul. Para penentang berpendapat bahwa tawassul merupakan bentuk syirik, yaitu perbuatan menyekutukan Allah SWT dengan makhluk-Nya. Mereka berargumen bahwa hanya Allah SWT yang berhak disembah dan bahwa memohon kepada makhluk-Nya sama saja dengan menyembah mereka.

Salah satu dalil yang sering digunakan untuk menentang tawassul adalah firman Allah SWT dalam surat Al-Isra ayat 110:

> "Katakanlah: "Sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku bahwa sesungguhnya Tuhanmu adalah Tuhan yang Esa."

Ayat ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW hanyalah seorang manusia biasa yang diutus oleh Allah SWT untuk menyampaikan risalah-Nya. Beliau tidak memiliki kekuasaan untuk mengabulkan doa atau memberikan pertolongan.

Pandangan Ulama tentang Tawassul

Perdebatan tentang hukum tawassul telah berlangsung selama berabad-abad dan telah melahirkan berbagai macam pandangan di kalangan ulama. Sebagian ulama berpendapat bahwa tawassul diperbolehkan, sementara yang lain berpendapat bahwa tawassul merupakan bentuk syirik.

Para ulama yang memperbolehkan tawassul berpendapat bahwa praktik ini tidak bertentangan dengan tauhid, karena tujuannya tetap memohon kepada Allah SWT. Mereka berpendapat bahwa tawassul hanyalah sebagai perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Di sisi lain, para ulama yang menentang tawassul berpendapat bahwa praktik ini dapat mengantarkan kepada syirik, karena dapat menimbulkan rasa ketergantungan kepada makhluk-Nya. Mereka berpendapat bahwa hanya Allah SWT yang berhak disembah dan bahwa memohon kepada makhluk-Nya sama saja dengan menyembah mereka.

Kesimpulan

Perdebatan tentang hukum tawassul dalam Islam masih terus berlanjut hingga saat ini. Tidak ada satu pun pendapat yang dapat diterima secara universal oleh semua ulama. Penting bagi setiap Muslim untuk memahami berbagai macam pandangan tentang tawassul dan untuk berhati-hati dalam mempraktikkannya.

Jika seseorang ingin memohon kepada Allah SWT melalui perantara makhluk-Nya, maka ia harus memastikan bahwa niatnya murni untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan tidak terjebak dalam kesyirikan. Ia juga harus memastikan bahwa perantara yang dipilihnya adalah orang yang saleh dan memiliki hubungan yang kuat dengan Allah SWT.