Ketegangan antara NICA dan Tentara Sekutu di Indonesia Pasca-Jepang

Setelah Jepang menyerah pada akhir Perang Dunia II, Indonesia berada dalam keadaan yang kacau. Pemerintahan Jepang yang sebelumnya menguasai Hindia Belanda telah runtuh, dan kekosongan kekuasaan ini menciptakan ketegangan antara otoritas yang berbeda yang berusaha mengambil alih pemerintahan sipil di Indonesia. Salah satu otoritas yang muncul adalah NiCA (Netherlands Indies Civil Administration), yang merupakan otoritas resmi semi-militer di bawah Sekutu yang bertugas menjalankan pemerintahan sementara di Hindia Belanda pasca-Jepang. Namun, ketegangan segera muncul karena banyak pegawai NiCA yang berasal dari Belanda dan tampaknya telah direncanakan untuk mengambil alih pemerintahan sipil di Indonesia. Ketegangan semakin nyata ketika NiCA mempersenjatai bekas anggota KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger) yang baru saja dibebaskan dari tahanan Jepang. Di berbagai daerah, NiCA dan KNIL yang didukung oleh Inggris melancarkan provokasi dan teror terhadap rakyat Indonesia. Untuk meredakan ketegangan ini, pada 1 Oktober 1945, panglima AFNEI (Allied Forces in the Netherlands East Indies) menyatakan bahwa pemerintahan Republik Indonesia yang ada di daerah-daerah diakui sebagai kekuasaan de facto. Dengan pengakuan ini, pemerintah Indonesia setuju untuk mendukung misi AFNEI dan bahkan meminta para pejabat daerah untuk membantu AFNEI. Namun, dalam kenyataannya, kehadiran tentara Sekutu di daerah-daerah selalu menimbulkan insiden. Tentara Sekutu sering kali menunjukkan sikap tidak menghormati kedaulatan Indonesia, dan tindakan mereka yang menyimpang dari misi mereka memicu pertempuran di berbagai daerah seperti Surabaya, Sukabumi, Medan, Ambarawa, Manado, dan Bandung. Ketegangan antara NICA dan Tentara Sekutu di Indonesia pasca-Jepang mencerminkan kompleksitas politik dan kekuasaan yang terjadi pada saat itu. Konflik ini menunjukkan tantangan yang dihadapi Indonesia dalam mencapai kemerdekaan dan menegakkan kedaulatan negara.