** Posisi Pelacur dalam Mafia Pelacuran di Indonesia: Tinjauan Teori Viktimisasi **

** Pelacuran merupakan fenomena sosial yang kompleks, terutama ketika dikaitkan dengan keberadaan mafia pelacuran. Di Indonesia, posisi pelacur sering kali dipandang sebagai korban dari sistem yang lebih besar dan berbahaya. Dalam konteks ini, teori viktimisasi memberikan kerangka untuk memahami bagaimana individu terjebak dalam jaringan eksploitasi tersebut. Teori viktimisasi menjelaskan bahwa banyak pelaku kejahatan adalah produk dari lingkungan mereka sendiri—termasuk kemiskinan, kurangnya pendidikan, dan ketidakberdayaan ekonomi. Banyak wanita yang terlibat dalam prostitusi tidak memilih jalan hidup ini secara sukarela; sebaliknya mereka mungkin didorong oleh kebutuhan mendesak atau manipulatif pihak lain seperti sindikat kriminal. Mafia pelacuran memanfaatkan kondisi rentan para perempuan ini dengan menawarkan janji-janji palsu akan pekerjaan layak atau kehidupan lebih baik. Namun pada kenyataannya, begitu masuk ke dunia itu, kebebasan mereka sangat terbatas karena adanya kontrol fisik maupun psikologis oleh pengelola bisnis ilegal tersebut. Dalam perspektif victimology (studi tentang korban), penting untuk menyoroti perbedaan antara 'korban' aktif dan pasif serta dampaknya terhadap identitas diri seseorang. Para pekerja seks seringkali mengalami stigma sosial sehingga sulit bagi mereka untuk keluar dari lingkaran setan kekerasan dan eksklusi masyarakat setelah menjadi bagian dari industri gelap ini. Melalui pemahaman teoritis mengenai viktimisasi dapat membantu kita melihat perlunya intervensi berbasis hak asasi manusia guna melindungi kelompok-kelompok rentan termasuk para pekerja seks agar mendapatkan akses kepada layanan kesehatan mental serta dukungan hukum tanpa takut akan penilaian negatif masyarakat luas. Kesimpulan menunjukkan bahwa mengatasi masalah mafia pelacuran bukan hanya tanggung jawab pemerintah tetapi juga seluruh lapisan masyarakat harus bersatu padu menciptakan kesadaran kolektif demi memberantas praktik-praktik diskriminatif sekaligus memberi kesempatan kedua bagi mantan pekerja seksual menuju rehabilitasi social-ekonomi yang positif.