Keadilan di Ujung Pedih: Menelisik Hakikat Hukum dalam Kasus Nenek Asyani **

Kasus Nenek Asyani, seorang perempuan lanjut usia yang dijerat hukum atas tuduhan pencurian 7 batang kayu jati di Situbondo, Jawa Timur, menjadi sorotan publik. Peristiwa ini mengungkap sisi kelam penegakan hukum di Indonesia, di mana keadilan seolah tergadaikan oleh aturan yang kaku dan tidak berpihak pada kaum marginal. Nenek Asyani, yang hidup dalam keterbatasan ekonomi dan fisik, dituntut dengan pasal yang berat dan dijatuhi hukuman penjara 1 tahun serta denda Rp500.000.000. Hukuman ini terasa tidak adil mengingat Nenek Asyani sendiri mengaku tidak mencuri dan bahkan telah meminta maaf serta menyembah penegak hukum. Kasus ini menggugah pertanyaan mendasar tentang hakikat hukum. Hukum, yang seharusnya menjadi alat untuk menegakkan keadilan dan melindungi hak asasi manusia, justru menjadi alat penindasan bagi kaum lemah. Dalam kasus Nenek Asyani, hukum tidak mampu melihat latar belakang, kondisi sosial, dan ekonomi yang melatarbelakangi tindakannya. Hakikat hukum yang ideal adalah hukum yang adil, berpihak pada kebenaran, dan mampu memberikan rasa keadilan bagi semua pihak. Hukum seharusnya menjadi alat untuk menyelesaikan konflik secara damai dan membangun masyarakat yang harmonis. Dalam kasus Nenek Asyani, terlihat jelas bahwa hukum tidak mampu menjalankan fungsinya secara optimal. Hukum yang kaku dan tidak berpihak pada kaum marginal justru melahirkan ketidakadilan dan memicu amarah publik. Sumber Referensi: * Undang-Undang No.18 tahun 2003 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan * Berbagai berita dan artikel terkait kasus Nenek Asyani Catatan:** Kasus Nenek Asyani menjadi cerminan bahwa penegakan hukum di Indonesia masih memiliki banyak kekurangan. Diperlukan reformasi hukum yang komprehensif untuk memastikan bahwa hukum benar-benar menjadi alat untuk menegakkan keadilan dan melindungi hak asasi manusia.