Tawassul dalam Perspektif Fiqih: Panduan Praktis dan Argumentasi

Tawassul: Pengertian dan Asal Usul

Tawassul dalam perspektif fiqih adalah suatu konsep yang merujuk pada praktek memohon pertolongan atau perlindungan kepada Allah melalui perantaraan, seperti Nabi, Wali, atau amal baik. Konsep ini berasal dari kata Arab yang berarti 'mencari jalan' atau 'mendekatkan diri'. Dalam konteks agama Islam, tawassul adalah cara untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan harapan mendapatkan rahmat dan perlindungan-Nya.

Tawassul dalam Al-Quran dan Hadits

Tawassul dalam perspektif fiqih memiliki dasar dalam Al-Quran dan Hadits. Dalam Al-Quran, terdapat beberapa ayat yang menunjukkan bahwa tawassul adalah praktek yang dianjurkan. Misalnya, dalam Surah Al-Baqarah ayat 186, Allah berfirman, "Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku." Ayat ini menunjukkan bahwa Allah mendekat kepada hamba-Nya yang berdoa dan memohon pertolongan kepada-Nya.

Selain itu, dalam Hadits, Nabi Muhammad SAW juga sering melakukan tawassul. Dalam sebuah Hadits riwayat Tirmidzi, Nabi Muhammad SAW berdoa, "Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan segala nama yang Engkau miliki, yang Engkau namakan diri-Mu dengannya, atau yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau yang Engkau ajarkan kepada seorang dari makhluk-Mu, atau yang Engkau simpan dalam ilmu ghaib di sisi-Mu."

Tawassul: Panduan Praktis

Tawassul dalam perspektif fiqih dapat dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, tawassul bisa dilakukan dengan memohon kepada Allah melalui perantaraan Nabi atau Wali. Misalnya, seseorang bisa berdoa, "Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan perantaraan Nabi Muhammad SAW, agar Engkau mengabulkan doa ku ini."

Kedua, tawassul bisa dilakukan dengan memohon kepada Allah melalui perantaraan amal baik. Misalnya, seseorang bisa berdoa, "Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan perantaraan amal shalatku, agar Engkau mengabulkan doa ku ini."

Ketiga, tawassul bisa dilakukan dengan memohon kepada Allah melalui perantaraan nama-nama-Nya yang baik. Misalnya, seseorang bisa berdoa, "Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan perantaraan nama-Mu yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, agar Engkau mengabulkan doa ku ini."

Tawassul: Argumentasi dan Kontroversi

Meski tawassul dalam perspektif fiqih memiliki dasar dalam Al-Quran dan Hadits, praktek ini sering menjadi subjek kontroversi dan perdebatan di kalangan umat Islam. Beberapa kelompok berpendapat bahwa tawassul adalah bentuk syirik atau penyekutuan terhadap Allah, karena mereka beranggapan bahwa hanya Allah yang berhak dipohon dan dituju dalam doa.

Namun, kelompok lain berpendapat bahwa tawassul bukanlah bentuk syirik, asalkan seseorang tetap meyakini bahwa hanya Allah yang memiliki kekuasaan untuk mengabulkan doa. Mereka berpendapat bahwa perantaraan dalam tawassul hanyalah sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan sebagai objek pemujaan atau penyembahan.

Dalam konteks ini, penting untuk memahami bahwa tawassul dalam perspektif fiqih bukanlah tentang memohon kepada perantara, melainkan memohon kepada Allah melalui perantara. Oleh karena itu, tawassul tidak bertentangan dengan konsep tauhid atau keesaan Allah, asalkan dilakukan dengan pemahaman dan niat yang benar.

Dalam menjalankan tawassul, setiap Muslim harus berpegang teguh pada ajaran Al-Quran dan Hadits, serta memahami dan menerapkan prinsip-prinsip dasar dalam Islam, seperti tauhid, iman, dan ikhlas. Dengan demikian, tawassul dapat menjadi sarana yang efektif untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memohon rahmat serta perlindungan-Nya.