Menyentuh Hati, Mengusik Nurani: Mengapa Pengamen Terus Bermunculan? **

Di tengah hiruk pikuk kota, kita sering menjumpai sosok-sosok pengamen yang menghiasi sudut-sudut alun-alun. Mereka, dengan lantunan lagu dan petikan gitar, berusaha menarik simpati dan rupiah dari para pengunjung. Pendapatan mereka tak menentu, kadang hanya sepuluh ribu, kadang lebih, tergantung pada keramahan hati para pendengar. Fenomena pengamen ini tak lepas dari realitas kemiskinan yang melanda sebagian masyarakat Indonesia. Kurangnya modal, pendidikan yang terbengkalai, dan minimnya keterampilan menjadi faktor utama yang mendorong mereka untuk mencari nafkah di jalanan. Sayangnya, lingkaran kemiskinan ini sulit diputus. Anak-anak pengamen, yang terpaksa meninggalkan bangku sekolah, terjebak dalam siklus yang sama. Mereka tumbuh tanpa bekal pengetahuan dan keterampilan, sehingga sulit untuk keluar dari jurang kemiskinan. Kemiskinan struktural ini menjadi tantangan besar bagi bangsa. Generasi demi generasi terjebak dalam lingkaran kemiskinan, seolah-olah diwariskan dari orang tua kepada anak. Wawasan:** Melihat fenomena pengamen ini, kita perlu merenung. Bukan hanya sekadar rasa iba, tetapi juga kesadaran akan pentingnya memutus mata rantai kemiskinan. Pemerintah dan masyarakat perlu bahu-membahu untuk menciptakan peluang dan akses pendidikan yang lebih baik bagi anak-anak pengamen. Dengan begitu, mereka dapat memiliki masa depan yang lebih cerah dan terbebas dari lingkaran kemiskinan yang memilukan.