Defisit Demokrasi di Indonesia: Ancaman Terhadap Keberlanjutan Sistem Pemilu

Indonesia, sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara, sering dijadikan contoh bagi negara-negara lain dalam menerapkan sistem demokrasi. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, Indonesia mengalami penurunan signifikan dalam keberlanjutan sistem demokrasi ini. Berbagai permasalahan yang mendera negara ini, seperti kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR dan pengurus partai politik, penggusuran yang mengusik Hak Asasi Manusia (HAM), dan penyebaran hoax yang merajalela, semakin memperburuk defisit demokrasi yang ada. Salah satu gejala defisit demokrasi yang terlihat adalah kurangnya wahana partisipasi publik yang leluasa. Gelombang aksi tolak RUU revisi UU KPK, RUU KUHPid, dan RUU Pertanahan menunjukkan bahwa partisipasi publik dianggap tidak penting karena sudah ada pemilu. Namun, demokrasi sejati tidak hanya bergantung pada pemilu, tetapi juga membutuhkan partisipasi publik yang aktif di dalam ruang publik, baik sebelum maupun setelah pemilu. Selain itu, hukum di Indonesia juga kehilangan karakternya dalam menciptakan rasa adil. Praktik tebang pilih dalam penegakan hukum masih sering terjadi, dan pembentukan undang-undang yang dilakukan secara diam-diam semakin memperburuk keadaan. Jika hukum tidak bekerja dengan baik, ancaman anarki akan semakin nyata di depan mata. Defisit demokrasi ini merupakan ancaman serius terhadap keberlanjutan sistem pemilu di Indonesia. Untuk menjaga demokrasi tetap berjalan dengan baik, perlu adanya upaya untuk meningkatkan partisipasi publik yang lebih luas dan memperkuat penegakan hukum yang adil. Hanya dengan mengatasi defisit demokrasi ini, Indonesia dapat memastikan bahwa sistem pemilu yang ada dapat berjalan dengan baik dan memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat.