Konsumsi sebagai Penanda Batas Sakral dan Profan dalam Masyarakat Banjar **

Masyarakat Banjar, dengan budaya dan tradisi yang kaya, memiliki pemahaman yang kuat tentang pemisahan antara sakral dan profan. Pemahaman ini tercermin dalam berbagai aspek kehidupan mereka, termasuk pola konsumsi. Konsumsi, dalam konteks ini, tidak hanya sebatas memenuhi kebutuhan biologis, tetapi juga menjadi simbol dan penanda yang menunjukkan nilai-nilai religius dan budaya masyarakat Banjar. Makanan dan Minuman: Dalam masyarakat Banjar, makanan dan minuman memiliki makna yang sakral dan profan. Makanan dan minuman khusus, seperti ketupat nasi kuning, wajik, dodol, dan bingka, hanya dikonsumsi dalam ritual keagamaan atau acara sakral seperti Maulid Nabi, Hari Raya Idul Fitri, dan pernikahan. Makanan ini memiliki nilai simbolis yang melambangkan kesucian, kegembiraan, dan persatuan. Sementara itu, makanan dan minuman yang dikonsumsi sehari-hari, seperti nasi, sayur, ikan, dan buah-buahan, dianggap profan dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pakaian: Pakaian juga menjadi penanda penting dalam pemisahan sakral dan profan dalam masyarakat Banjar. Baju kurung, pakaian tradisional wanita Banjar, sering dikenakan dalam acara keagamaan seperti pernikahan dan Maulid Nabi. Sarung, pakaian tradisional pria Banjar, juga sering dikenakan dalam acara keagamaan dan kegiatan sehari-hari. Pakaian ini melambangkan kesopanan, kesucian, dan penghormatan terhadap nilai-nilai agama. Pakaian yang dikenakan untuk aktivitas sehari-hari, seperti baju kaos, celana panjang, dan rok, dianggap profan dan tidak memiliki makna sakral. Rumah dan Peralatan: Rumah dan peralatan juga memiliki makna sakral dan profan dalam masyarakat Banjar. Rumah dan peralatan yang digunakan untuk kegiatan keagamaan, seperti mushola, tempat penyimpanan Al-Quran, dan peralatan sholat, dianggap sakral dan dijaga dengan baik. Rumah dan peralatan yang digunakan untuk kegiatan sehari-hari, seperti dapur, kamar tidur, dan peralatan rumah tangga, dianggap profan dan tidak memiliki makna sakral. Upacara dan Ritual: Upacara dan ritual keagamaan, seperti pernikahan, khitanan, dan kematian, melibatkan konsumsi makanan dan minuman khusus, pakaian khusus, dan penggunaan peralatan khusus. Hal ini menunjukkan bahwa upacara dan ritual keagamaan memiliki makna sakral dan dihormati dengan cara yang khusus. Acara dan kegiatan sehari-hari, seperti pesta ulang tahun, arisan, dan pertemuan keluarga, tidak melibatkan konsumsi makanan dan minuman khusus atau penggunaan peralatan khusus. Kesimpulan: Konsumsi dalam masyarakat Banjar berfungsi sebagai pembeda yang jelas antara sakral dan profan. Pola konsumsi yang berbeda dalam acara keagamaan dan kegiatan sehari-hari menunjukkan pemahaman yang kuat tentang nilai-nilai religius dan budaya masyarakat Banjar. Konsumsi menjadi cara untuk menghormati nilai-nilai sakral dan menjaga batasan antara dunia spiritual dan duniawi. Wawasan:** Memahami pola konsumsi dalam masyarakat Banjar memberikan kita wawasan tentang bagaimana budaya dan agama dapat memengaruhi kehidupan sehari-hari. Pola konsumsi ini menunjukkan bahwa nilai-nilai sakral dan profan tidak hanya ada dalam pemikiran, tetapi juga terwujud dalam tindakan dan perilaku sehari-hari.