Pentingnya Membangun Kepercayaan Diri dalam Belajar

Dalam ilustrasi di atas, kita melihat seorang siswa bernama Giri yang cenderung mencontek selama pekan ujian. Setelah melakukan pendekatan, Bu Wina, wali kelas Giri, mengetahui bahwa Giri melakukan hal tersebut karena merasa tidak percaya diri dalam kemampuannya untuk mendapatkan nilai yang baik jika bekerja sendiri. Giri mengungkapkan bahwa rasa tidak percaya dirinya timbul karena orang tuanya selalu memarahi dan menghukumnya ketika nilai Giri tidak sesuai dengan harapan mereka. Pola sosialisasi yang terlihat dalam ilustrasi ini adalah pola sosialisasi otoriter. Orang tua Giri menuntutnya untuk mendapatkan nilai yang bagus dalam pelajaran Matematika dan IPA, dengan harapan agar Giri sukses menjadi seorang Arsitek seperti yang diharapkan oleh orang tuanya. Orang tua Giri memberikan tekanan dan hukuman ketika Giri tidak mencapai standar yang ditetapkan. Hal ini menyebabkan Giri merasa tidak percaya diri dan cenderung mencari jalan pintas dengan mencontek selama ujian. Pola sosialisasi otoriter ditandai dengan adanya tekanan dan kontrol yang tinggi dari orang tua atau otoritas lainnya. Orang tua Giri menetapkan standar yang tinggi dan mengharapkan Giri untuk mencapainya. Mereka menggunakan hukuman dan kritik sebagai cara untuk memotivasi Giri. Namun, pendekatan ini justru berdampak negatif pada kepercayaan diri Giri dan menyebabkan perilaku tidak jujur seperti mencontek. Dalam kasus ini, Bu Wina sebagai wali kelas Giri berperan penting dalam membantu Giri membangun kepercayaan diri dalam belajar. Bu Wina mengarahkan Giri untuk berkonsultasi dengan guru Bimbingan Konseling secara rutin dan memberikan pengertian bahwa Giri dapat menghubunginya jika mengalami kesulitan dalam pelajaran. Dengan memberikan dukungan dan pengertian, Bu Wina membantu Giri merasa lebih percaya diri dan menghindari perilaku curang seperti mencontek. Dalam konteks ini, penting bagi kita sebagai pendidik dan orang tua untuk memahami bahwa membangun kepercayaan diri adalah kunci dalam belajar. Pola sosialisasi yang otoriter dapat merusak kepercayaan diri anak dan menyebabkan perilaku tidak jujur. Sebaliknya, pendekatan yang mendukung dan memberikan pengertian dapat membantu anak merasa lebih percaya diri dan mengembangkan kemampuan belajarnya dengan lebih baik.