Janji di Perut Bundar\x0a\x0a**

**

Udara pagi di bandara terasa dingin menusuk kulit Aretha. Ia memeluk erat perutnya yang membuncit, lima bulan kandungannya mulai terlihat jelas. Di sampingnya, Gio berdiri tegak, wajahnya terukir kesedihan yang terselubung di balik senyum tipis.

"Lo bisa jaga diri lo kan? Lo bisa jaga anak gue?" tanya Gio, suaranya sedikit bergetar.

Aretha mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Iya, gue bisa mungkin..."

"Good girl..." Gio mengelus lembut rambut Aretha, lalu mencium perutnya. "Gue janji, gue bakal balik. Lima tahun, nggak lebih. Kita bakal ngeluarin anak kita bareng-bareng."

Lima tahun. Waktu yang terasa begitu lama bagi Aretha. Bayangan Gio yang akan pergi selama itu membuat hatinya sesak. Ia harus membesarkan anak mereka sendirian, menghadapi segala rintangan dan tantangan tanpa kehadiran Gio.

"Gimana kalau lo pulang, tapi gue udah meninggal?" tanya Aretha, suaranya berbisik hampir tak terdengar.

Gio terdiam sejenak, matanya menatap Aretha dengan penuh kasih. "Nggak akan. Gue nggak akan ngebiarin itu terjadi. Gue bakal balik, dan kita bakal bahagia bareng-bareng."

Gio mencium kening Aretha sekali lagi, lalu berbalik dan melangkah pergi. Aretha terpaku di tempatnya, matanya mengikuti bayangan Gio yang semakin menjauh.

Lima tahun kemudian, Aretha berdiri di bandara yang sama. Ia mendekap erat seorang anak laki-laki berusia lima tahun, matanya yang bulat mirip dengan Gio. Di kejauhan, ia melihat sosok yang dikenalnya. Gio, dengan senyum lebar dan mata yang berkaca-kaca, berlari menghampirinya.

"Aretha, anak kita..." Gio berbisik, matanya tertuju pada anak laki-laki yang berdiri di samping Aretha.

Aretha tersenyum, air mata mengalir di pipinya. "Dia udah nungguin lo, Gio."

Gio berlutut di hadapan anak laki-lakinya, memeluknya erat. "Hai, Nak. Papa pulang."

Janji yang terucap di perut bundar lima tahun silam, akhirnya terpenuhi. Gio pulang, dan keluarga kecil mereka kembali utuh.