Pak Ogah atau Polisi Cepek: Membantu atau Mengganggu?

Pak Ogah atau Polisi Cepek seringkali ada di setiap persimpangan belokan jalan atau perlintasan kereta api tak berpintu. Mereka dulu diberi imbalan cepek (seratus rupiah) setiap kali kita melewati mereka. Sekarang, mungkin imbalannya sudah naik menjadi gopek (lima ratus rupiah) atau seceng (seribu rupiah). Tokohnya juga bermacam-macam, ada segerombolan anak muda, bapak-bapak, bahkan orang yang memiliki keterbatasan fisik yang melakukan tugas ini sambil menggunakan tongkatnya untuk mengatur lalu lintas. Bagi pengguna jalan, kehadiran mereka seringkali menjadi perdebatan. Jika kita ingin belok atau berbalik arah, tentunya kehadiran mereka sangat membantu. Mereka dengan berani menghadang kendaraan lain dan memberi kita kesempatan untuk belok. Di kota-kota besar, jarang pengendara yang rela memberi kesempatan untuk kendaraan lain menghalangi jalan, walaupun hanya untuk sekadar berbalik arah atau berbelok. Oleh karena itu, kehadiran Pak Ogah atau Polisi Cepek dianggap sangat membantu. Dengan memberikan imbalan sebesar seribu atau dua ribu rupiah, mereka memberikan pelayanan yang sangat murah. Ketika terjadi kemacetan, idealnya ada polisi lalu lintas yang mengatur dan mengurai kemacetan tersebut. Namun, kenyataannya, yang kita temukan malah polisi tak berseragam seperti mereka yang mengatur jalan. Alasan inilah yang membuat mereka tetap ada sampai sekarang. Hal yang menarik dari kehidupan Pak Ogah atau Polisi Cepek adalah setiap lokasi sudah dikuasai oleh sekelompok orang. Jadi, jangan harap ada orang baru yang bisa masuk menjadi Pak Ogah atau Polisi Cepek dengan mudah. Seperti orang yang bekerja shift di pabrik atau kantor, mereka dengan rapi membagi jam-jam tugas dan dibagi dalam beberapa kelompok. Hasil kerja mereka dikumpulkan dan kemudian dibagi rata. Pada saat itu, sehari bisa mendapatkan Rp7.500 hingga Rp10.000 per orang, kadang lebih. Di negara-negara lain, mungkin profesi ini tidak akan kita temui. Tetapi mengapa di kota-kota besar atau bahkan di lingkungan kita bisa begitu banyak? Semua kembali pada rendahnya ketertiban pengguna jalan, banyaknya kendaraan yang melebihi kapasitas jalan, dan kesemrawutan pengaturan jalan yang sering memberikan celah untuk kemacetan. Namun, di balik itu semua, ada sekelompok manusia yang menghidupi dirinya dan keluarganya dari profesi ini.