Dominasi Tionghoa dalam Perdagangan dan Nasionalisasi De Javasche Bank di Indonesi

Dominasi Tionghoa dalam perdagangan di Indonesia telah menjadi masalah yang signifikan sejak zaman kolonial. Selama periode ini, mereka diberikan perlakuan khusus yang memungkinkan mereka untuk mendominasi industri impor. Program Benteng, yang ditujukan untuk mendukung pengusaha lokal, ternyata gagal karena hanya beberapa ratus pengusaha lokal yang benar-benar terlibat dalam perdagangan, meskipun ada lebih dari 5.000 izin impor yang dikeluarkan. Hal ini terjadi karena fenomena jual lisensi impor, di mana banyak pengusaha lokal mendapatkan lisensi impor dan menjualnya kembali kepada importir Tionghoa atau asing. Akibatnya, kekuatan ekonomi masih dipegang oleh orang-orang Tionghoa, dan program ini akhirnya dihentikan pada tahun 1957 oleh Perdana Menteri Djoeanda. Selain Program Benteng, pemerintah juga mengambil langkah-langkah lain untuk mendukung perekonomian nasional. Salah satunya adalah Program Ali-Baba, yang bertujuan untuk mendukung pengusaha lokal dengan memberikan mereka akses ke modal dan pelatihan. Selain itu, pemerintah juga menasionalisasikan De Javasche Bank, yang merupakan bank sentral pertama di Indonesia. Nasionalisasi ini dilakukan oleh pemerintah Republik Indonesia di bawah Menteri Keuangan Jusuf Wibisono tanpa adanya negosiasi dengan pihak De Javasche Bank. Proses nasionalisasi ini cukup panjang, berlangsung dari tahun 1951 hingga 1953. Setelah De Javasche Bank dinasionalisasikan, Sjafroeddin Prawiranegara diangkat sebagai ketua bank sentral baru, Bank Indonesia. Rencana Pembangunan Lima Tahun pertama (1956-1960) dibuat oleh Perdana Menteri Djoeanda Kartawidjaja, yang mencakup sistem pembagian kerja yang lebih canggih di antara industri dan usaha. Meskipun upaya-upaya ini, dominasi Tionghoa dalam perdagangan dan ekonomi Indonesia tetap menjadi masalah yang signifikan.