Bagaimana Novel Siti Nurbaya Merefleksikan Realitas Sosial di Masa Kolonial?

Karya sastra seringkali menjadi cerminan zaman, merekam dan memantulkan realitas sosial yang terjadi di sekitarnya. Begitu pula dengan novel *Siti Nurbaya*, sebuah mahakarya sastra Indonesia yang lahir dari tangan dingin Marah Rusli. Novel ini bukan hanya kisah cinta tragis antara Siti Nurbaya, Samsulbahri, dan Datuk Meringgih, melainkan juga sebuah potret tajam yang memperlihatkan realitas sosial di masa kolonial, khususnya di Minangkabau pada awal abad ke-20. Melalui berbagai konflik dan karakter yang dihadirkan, novel ini dengan gamblang menunjukkan bagaimana sistem kolonial, adat, dan kesenjangan sosial saling berkelindan, menciptakan penderitaan dan ketidakadilan bagi masyarakat pribumi.

Jerat Hutang dan Sistem Ekonomi Kolonial

Salah satu aspek yang ditampilkan dengan kuat dalam *Siti Nurbaya* adalah sistem ekonomi kolonial yang eksploitatif. Novel ini menggambarkan bagaimana Belanda, melalui kebijakan-kebijakan ekonominya, menciptakan sistem yang menguntungkan segelintir orang Eropa dan merugikan mayoritas pribumi. Hal ini tergambar jelas melalui karakter Baginda Sulaiman, ayah Siti Nurbaya, yang terjerat hutang kepada rentenir kejam, Datuk Meringgih.

Sistem ekonomi kolonial membuat pribumi seperti Baginda Sulaiman sulit untuk maju dan terjebak dalam lingkaran hutang yang menjerat. Kondisi ini memaksa mereka untuk menggadaikan harta, bahkan harga diri, demi melunasi hutang. Pernikahan Siti Nurbaya dengan Datuk Meringgih, yang dilatarbelakangi oleh hutang ayahnya, menjadi simbol bagaimana sistem ekonomi kolonial menghancurkan kehidupan pribumi.

Kesenjangan Sosial dan Konflik Kelas

*Siti Nurbaya* juga dengan tajam menggambarkan jurang pemisah antara kelas priyayi dan rakyat jelata di masa kolonial. Datuk Meringgih, meskipun kaya raya, dipandang rendah oleh masyarakat karena berasal dari keluarga biasa. Sebaliknya, keluarga Siti Nurbaya, meskipun jatuh miskin, tetap dihormati karena status sosial mereka sebagai keturunan bangsawan.

Konflik kelas ini semakin diperparah dengan masuknya sistem kolonial yang menempatkan orang Eropa di puncak hierarki sosial. Kehadiran Belanda menciptakan kesenjangan baru dan memperkuat struktur sosial yang timpang. Hal ini terlihat dari bagaimana orang Belanda diperlakukan dengan istimewa, sementara pribumi, bahkan mereka yang berasal dari golongan priyayi, tetap dianggap sebagai warga kelas dua.

Perempuan dan Tradisi Patriarki

Novel ini juga menyoroti bagaimana perempuan menjadi korban dari tradisi patriarki yang mengakar kuat di masyarakat. Siti Nurbaya, meskipun cerdas dan berpendirian teguh, tidak memiliki banyak pilihan dalam menentukan jalan hidupnya. Ia dipaksa menikah dengan Datuk Meringgih demi menyelamatkan ayahnya dari lilitan hutang.

Pernikahan ini menjadi simbol dari kungkungan adat dan tradisi yang membatasi ruang gerak perempuan. Siti Nurbaya, seperti banyak perempuan pribumi di masanya, terjebak dalam sistem sosial yang menempatkan mereka sebagai objek, bukan subjek. Novel ini dengan berani mengkritik ketidakadilan gender dan menyuarakan pentingnya emansipasi perempuan.

Melalui kisah tragis Siti Nurbaya, Marah Rusli berhasil menyingkap tabir realitas sosial di masa kolonial. Novel ini bukan hanya sebuah kisah cinta yang menguras air mata, tetapi juga sebuah kritik sosial yang tajam terhadap sistem kolonial, kesenjangan sosial, dan tradisi patriarki yang merugikan masyarakat pribumi, khususnya perempuan. *Siti Nurbaya* tetap relevan hingga kini, mengingatkan kita akan pentingnya keadilan, kesetaraan, dan keberanian untuk melawan penindasan dalam segala bentuknya.