Etika Kedokteran dan Kasus Dokter LC: Analisis Perspektif Teori dan Hukum

Kasus Dokter LC mengungkap pelanggaran serius terhadap etika kedokteran dan hukum. Analisis dari berbagai perspektif memperkuat kesimpulan ini. Henderson menekankan pentingnya hubungan dokter-pasien yang sehat, berdasarkan kepercayaan dan saling menghormati. Dokter LC justru mengeksploitasi pasien demi keuntungan pribadi, melanggar prinsip dasar empati dan pertimbangan matang. Hubungan tersebut jauh dari ideal, menunjukkan kegagalan total dalam membangun sistem sosial yang sehat dalam konteks praktik kedokteran. Parsons mengidentifikasi beberapa variabel pola dalam hubungan dokter-pasien yang dilanggar Dokter LC. Hubungannya bersifat tersebar, tidak spesifik, dan didasarkan pada kepentingan pribadi, bukan penyembuhan pasien. Ia mengabaikan kode etik dan hukum (universalisme), bertindak berdasarkan kepentingan pribadi (partikularisme). Kualitas perawatan diabaikan demi pencapaian tujuan yang tidak etis. Orientasi diri yang ekstrem mengalahkan kepentingan kolektivitas profesi kedokteran. Wolinsky menyoroti pentingnya otonomi profesional. Kasus ini menunjukkan konsekuensi dari kurangnya otonomi moral dan profesional, baik pada Dokter LC maupun petugas kesehatan lain yang mungkin mengetahui tindakannya namun memilih diam. Ketakutan, tekanan, atau kurangnya dukungan dapat menyebabkan kurangnya otonomi dan berujung pada stres kerja bahkan pengunduran diri. Dari sisi hukum, tindakan Dokter LC melanggar Kode Etik Kedokteran Indonesia, khususnya prinsip beneficence, non-maleficence, autonomy, dan justice. Ia juga melanggar UU Praktik Kedokteran No. 29 Tahun 2004, khususnya pasal-pasal yang mengatur larangan tindakan melanggar hukum dan kode etik, serta hak dan kewajiban dokter dan pasien. Sanksi yang mungkin dijatuhkan bervariasi, dari teguran hingga pencabutan izin praktik bahkan pidana. Kesimpulannya, kasus Dokter LC menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya etika dan hukum dalam praktik kedokteran. Kegagalan dalam menerapkan prinsip-prinsip etika dan hukum tidak hanya merugikan pasien, tetapi juga merusak kepercayaan publik dan integritas profesi kedokteran. Kasus ini menggarisbawahi perlunya pendidikan etika yang kuat, pengawasan yang ketat, dan dukungan sistemik bagi tenaga kesehatan agar dapat menjalankan profesinya secara bertanggung jawab dan etis. Semoga kasus ini menjadi momentum untuk perbaikan dan peningkatan kualitas pelayanan kesehatan di masa depan.