Kisah Manis Sore Itu

Gumpalan awan kelabu memenuhi langit, begitu rapatnya sampai tak membiarkan matahari menunjukkan sorotnya. Huh, tadi juga masih cerah dan matahari siang di Ponorogo terasa begitu menyengat di kulit saking panasnya. Aku tak mengira bahwa kemungkinan sebentar lagi hujan akan turun. Sialnya lagi aku tak membawa jas hujanku yang entah kuletakkan di mana karena sebelumnya musim hujan tak kunjung datang. Semoga saja hujan tidak turun sebelum aku sampai rumah. Bresss... Doaku sepertinya tak terkabul karena tiba-tiba rintik demi rintik berubah menjadi semakin deras membabi buta menerjang semua yang ada di bawahnya. Motorku menderu kencang karena kutambah kecepatannya. Jika begini, tak mungkin sampai rumah dengan kondisi pakaian yang tak basah. Di depan, kulihat ada sebuah warung kecil yang berada tepat di pinggir jalan. Tak terlalu ramai, karena letaknya di sekitar hamparan sawah luas dan ditambah suasana hujan yang membuat sebagian orang enggan keluar dari rumahnya. Aku memutuskan untuk berteduh di warung itu. Bangunan warung itu sangat sederhana terbuat dari gedek anyaman bambu. Aku duduk di salah satu lincak bambu panjang di dalamnya. Rupanya warung itu menjual dawet dan beberapa jenis gorengan. Sang ibu pemilik warung yang sepertinya sudah berusia lebih dari setengah abad itu menyambutku dengan senyum teduhnya. "Kehujanan ya mbak?" tanyanya. "Iya bu, biasanya memang jarang hujan," balasku. "Iya ya, sekarang memang susah buat diprediksi," katanya. Akupun mengangguk. "Bu, pesan dawetnya satu tapi es nya sedikit saja ya ndak usah banyak-banyak," tak enak kalau hanya numpang berteduh saja. Maka dari itu aku memesan dawet dagangannya.