Perjalanan Seorang Jathil: Dari Pulung Gantung Hingga Duta Wisat

Dalam tradisi pedesaan, pulung gantung dianggap sebagai simbol keberuntungan. Namun, bagi Lastri, kehidupannya berubah drastis setelah ayahnya mengakhiri hidupnya dengan cara tersebut. Lastri merasa terbebani dengan keyakinan masyarakat bahwa kematian ayahnya akan membawa keberuntungan bagi anak-anaknya. Saat itu, ia hanya bisa menangis dan bertanya-tanya mengapa kemoncerannya harus ditebus dengan kematian ayah. Kini, Lastri berusia 17 tahun dan sering merasa terbebani dengan stigma yang melekat padanya. Di sekolah, ia sering dianggap sebagai pendulum nafsu, pembawa sial, atau gadis binal. Teman-teman di sekolah tidak pernah memahami dirinya dengan sebenarnya, hanya mencaci dan mengejeknya. Namun, suatu kejadian mengubah hidup Lastri. Ketika ia mewakili sekolah sebagai duta seni, guru seninya memberikan kritik bahwa gerakan tubuh dan goyangannya tidak terpelajar. Meskipun hatinya protes, Lastri tidak berani mengatakan hal tersebut karena takut dengan kekuasaan guru. Namun, sedikit yang mereka tahu bahwa Lastri adalah seorang pembaca yang rajin di rumah guru bahasa Indonesia. Di rumah guru tersebut, Lastri memiliki akses ke ribuan buku dan majalah yang membentuk wawasannya. Dengan pengetahuan dan wawasan yang dimilikinya, Lastri berhasil menjadi juara dalam festival jathil di kotanya. Tidak hanya keindahan gerakan tubuh, tetapi juga pengetahuan dan wawasan seorang jathil yang ditanyakan. Keberhasilannya ini membawanya menjadi duta wisata ke Korea atas sponsor pihak swasta. Perjalanan Lastri sebagai seorang jathil mengajarkan kita bahwa kehidupan tidak selalu ditentukan oleh keyakinan dan stigma masyarakat. Dengan tekad dan pengetahuan yang dimiliki, kita dapat mengubah nasib kita sendiri dan membuktikan bahwa kita lebih dari sekadar label yang melekat pada diri kita.