Bintang dan Bulan, Cahaya Kembar di Langit Rumah Kita\x0a\x0a**
4 (283 suara) **
"Sakit No... Sakit...," rintih Ara, keringat dingin membasahi keningnya. Usia 16 tahun, tubuh mungilnya kini tengah berjuang melahirkan buah cintanya dengan Reno, sang suami yang baru menginjak usia 17 tahun. Pernikahan mereka yang terjalin tanpa restu orang tua, kini diuji dengan proses persalinan yang menegangkan.
"Gue tau Ra...," jawab Reno, tangannya menggenggam erat tangan Ara. Wajahnya pucat, keringat dingin juga membasahi dahinya. Ia tak bisa merasakan sakit yang dirasakan Ara, namun ia bisa merasakan ketakutan yang mencengkeram hatinya.
"Lo tau tapi lo gak ngerasain," balas Ara, suaranya terengah-engah.
"Sabar ya Bu, baru pembukaan 7," kata Bu Bidan, berusaha menenangkan Ara.
"Sabar sabar Saya udah nahan dari tadi!," teriak Ara, suaranya bercampur dengan rasa frustasi.
Satu jam berlalu, persalinan belum juga selesai. Ara terus mengejan, tubuhnya bergetar menahan rasa sakit.
"No... No....," rintihnya lagi, suaranya nyaris tak terdengar.
"Terus!!! Mbak!!!!," Bu Bidan menyemangati Ara.
"Aaaaa.... aaaaaaaa.... aaaaaaa...," Ara mengejan dengan sekuat tenaga.
"Aaaaaaa....," teriaknya lagi, tubuhnya menegang.
Reno terus menggenggam tangan Ara, memberikan kekuatan dan semangat.
"Jalan lahir...," Bu Bidan berbisik, "Kepala bayi muncul...," lanjutnya.
Ara kembali mengejan, air ketuban mengalir deras.
"Kepalanya udah keluar Mbak! Tinggal badan nya Mbak...," Bu Bidan memberi semangat.
"Aaaaa... No!," Ara mengerang, tubuhnya lemas.
"Oekkkkkk......Oek....," tangisan bayi terdengar, menandakan kelahiran Bintang, anak pertama mereka.
Satu jam kemudian, Ara kembali merasakan kontraksi.
"No... No...," rintihnya, "Satu lagi Mbak.....," Bu Bidan menginformasikan.
"Posisi nya Sungsang!," Bu Bidan sedikit panik.
"aaaa...No....," Ara mengerang, tubuhnya kembali menegang.
"Lo kuat Ra!....," Reno menyemangati Ara.
"Gue... Gak... Kuat...," jawab Ara, suaranya lemah.
Mata Ara kembali terbelak, merasakan tangan yang menekan. Rasa sakit yang luar biasa menusuk tubuhnya.
"No...No....," rintihnya, tubuhnya menegang.
Bu Bidan membantu Ara dengan tangannya, tubuh Ara menegang.
"Aaaaaaaa..... No!!!!!!," teriak Ara, meremas tangan Reno yang masih mencium keningnya.
"Oekkk...," tangisan bayi terdengar lagi, menandakan kelahiran Bulan, anak kedua mereka.
"Ah... Akhir-nya...," Ara terengah-engah, kelelahan.
Kelahiran Bulan lebih susah dari Bintang karena posisi nya yang sungsang.
Bintang, anak pertama mereka, tumbuh sehat dan ceria. Ia tumbuh menjadi anak yang aktif dan penuh semangat. Namun, Bulan, anak kedua mereka, hanya bertahan 15 menit setelah dilahirkan.
"Bintang, cahaya kembar di langit rumah kita," bisik Reno, memeluk Ara yang tertidur lelap.
"Bintang dan Bulan, cahaya kembar di langit rumah kita," bisik Ara, air matanya menetes perlahan.
Meskipun Bulan hanya sebentar bersama mereka, namun kenangan tentangnya akan selalu terukir di hati mereka. Bintang dan Bulan, cahaya kembar di langit rumah mereka, akan selalu menjadi bukti cinta mereka yang abadi.
