Aksi Buruh di Medan Tahun 1994: Tuntutan Kenaikan Gaji dan Konflik Etnis

Pada tahun 1994, Medan menjadi sorotan media karena aksi buruh yang melibatkan sekitar 20.000 orang. Aksi ini memiliki dampak yang luas, baik secara politik maupun sosial. Gerakan buruh selalu menjadi perhatian karena mereka memiliki peran penting dalam mempengaruhi stabilitas suatu negara. Dalam kasus ini, tuntutan kenaikan gaji menjadi faktor mendasar yang melatarbelakangi aksi buruh di Medan. Pada saat itu, gaji yang diterima oleh para buruh di Medan sangat minim. Bahkan, ada buruh yang hanya menerima gaji sebesar 600 rupiah per hari. Di Jakarta, gaji buruh sudah mencapai 3.600 rupiah per hari. Ketimpangan ini menjadi salah satu pemicu ketegangan antara buruh dan manajemen perusahaan. Selain tuntutan kenaikan gaji, kekesalan buruh juga dipicu oleh sikap manajemen yang cenderung menghindar dan bersembunyi di balik aparat pemerintah. Ketegangan semakin meningkat setelah bocornya informasi bahwa 1.187 perusahaan melanggar aturan, tetapi hanya 17 perusahaan yang diajukan ke pengadilan. Hal ini menimbulkan prasangka buruk bahwa ada praktik negatif yang terjadi antara pengusaha dan penguasa. Selanjutnya, buruknya hubungan antara pribumi lokal dengan etnis China di Medan juga menjadi faktor pemicu. Etnis China di Medan memiliki kebebasan dalam menggunakan bahasa Mandarin dalam lingkungan kerja. Pemerintah mencoba menyelesaikan masalah ini, tetapi hasilnya justru menunjukkan keberpihakan terhadap para pengusaha. Pada tanggal 14 April 1994, sekitar 20.000 buruh berkumpul di Lapangan Merdeka Medan untuk menggelar aksi pawai. Aksi ini menyebabkan kemacetan parah dan semakin memanas. Para buruh mulai melakukan pengrusakan di berbagai toko di sepanjang jalan yang mereka lalui. Dalam kasus aksi buruh di Medan tahun 1994, tuntutan kenaikan gaji dan konflik etnis menjadi faktor utama yang memicu ketegangan. Aksi ini menunjukkan pentingnya peran buruh dalam memperjuangkan hak-hak mereka dan mempengaruhi stabilitas suatu negara.