Kakek dan Pohon Mangg

Kakek Usman, tetanggaku, memiliki pohon mangga tua di halaman rumahnya. Pohon itu besar, rindang, dan cabang-cabangnya merunduk seakan merangkul siapa saja yang berteduh di bawahnya. Setiap musim mangga, pohon itu berbuah lebat. Buah-buahnya manis dan harum, menjadi rebutan anak-anak di kampung. Namun, tahun ini, pohon mangga itu tak berbuah banyak. Daun-daunnya terlihat layu, beberapa rantingnya patah. Kakek Usman terlihat sedih. Ia sering duduk di bawah pohon, memandanginya dengan tatapan pilu. Anak-anak kampung pun ikut merasa kehilangan. Kami biasa bermain petak umpet di antara akar-akar pohon yang besar itu, dan menikmati mangga-mangga manisnya. Suatu hari, saya memberanikan diri mendekati Kakek Usman. "Kakek," kataku, "kenapa pohon mangganya tidak berbuah banyak tahun ini?" Kakek Usman tersenyum, meskipun matanya masih terlihat sedih. "Pohon ini sudah tua, Nak," katanya, "seperti aku. Ia butuh istirahat, butuh perawatan lebih." Kemudian Kakek Usman menjelaskan bahwa ia telah merawat pohon itu selama puluhan tahun. Ia menyiramnya, memangkas ranting-rantingnya, dan melindungi dari hama. Ia mengajarkan padaku bahwa merawat sesuatu, seperti merawat pohon mangga ini, membutuhkan kesabaran dan ketekunan. Meskipun hasilnya tidak selalu sesuai harapan, proses merawatnya itu sendiri yang berharga. Seperti halnya kita merawat persahabatan, keluarga, dan diri kita sendiri. Kadang kita lelah, kadang hasilnya tak sesuai ekspektasi, namun prosesnya mengajarkan kita banyak hal. Dan, meski tahun ini mangganya sedikit, kehadiran pohon mangga tua itu tetap memberikan kesejukan dan keteduhan bagi kami semua. Itulah yang terpenting.