Eksistensi dan Kontestasi Identitas Suku Nias Melalui Tradisi Batu Megalitik

Bagian keenam, ketujuh, dan kedelapan menguraikan tentang reliji, ritus, dan kontestasi identitas suku Nias. Budaya megalitik mulai ditinggalkan karena adanya penyesuaian dengan agama baru. Proses penyesuaian antara tradisi megalitik dan agama baru tampak hampir pada setiap penyelenggaraan adat, terutama yang menyangkut siklus hidup dan interaksi sosial. Namun, seiring berjalannya waktu, tradisi megalitik di Bôrônadu mengalami penyusuran, bukan hanya karena pengaruh agama baru, tetapi juga karena pelaksanaan adat yang semakin berat bagi penduduk. Kebiasaan memengga ke pala manusia untuk bekal kubur para bangsawan yang meninggal, yang dilakukan oleh emali selama lima generasi, ditinggalkan karena masyarakat merasa jenuh dengan rasa takut yang selalu menggelayuti mereka.

Bagian kesembilan adalah catatan akhir yang berisi jalinan mitos, ritus, status, harga diri perempuan, babi, dan identitas orang Nias dengan batu megalitik sebagai simpul narasi. Pada bagian ini, penting untuk mencermati bahwa memahami budaya pada hakikatnya seperti bermain puzzle, yakni merangkai kembali jejak-jejak yang ditinggalkan manusia yang tercecer di sana-sini yang sering kali ditemukan tidak lengkap. Batu-batu megalitik adalah pintu masuk sekaligus simpul untuk memahami budaya Nias. Di balik batu itu ternyata masih tersembunyi mitos dan secara tidak langsung di dalamnya tercermin ritus yang menggambarkan perilaku orang Nias dari dulu hingga kini. Mitos pada dasarnya merupakan bentukan manusia dalam rangka menjaga eksistensinya di antara manusia yang lain. Dengan demikian, dari mitos kita bisa membaca dan menafsirkan identitas orang Nias.

Buku kecil ini merupakan buah dari keinginan semangat dan kemalasan yang sering kali mendera, terutama ketika jari-jemari tidak sanggup lagi mengikuti kehendak hati dan otak. Buku ini adalah hasil dari beragam pengalaman selama tinggal di Bôrônadu, yang terangkum dalam catatan lapangan, foto-foto, dan kaset-kaset mini. Dalam perjalanan membangun landasan konseptual, penulis mengalami perang batin antara konsistensi dengan disiplin utama arkeologi dan kebutuhan akan "bantuan" dari disiplin lain seperti antropologi dan sejarah. Program Kajian Beastudi Antarbudaya dan Antarregional yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Asia Pasifik Universitas Gadjah Mada (PSAP UGM) dan Ford Foundation memberi ruang bagi penulis untuk belajar membuka sekat-sekat disiplin yang kaku dan berpikir reflektif tentang budaya orang lain dan budaya kita sendiri. Buku ini merupakan buah dari kajian antarbudaya sekaligus juga antardisiplin dalam rangka menemukan identitas diri yang inklusif, dialektis, dan transformatif.

Studi penulis di Nias didukung oleh PSAP UGM dan Ford Foundation selama enam bulan pertama, dan selanjutnya studi dilanjutkan dengan semangat diri sendiri untuk menempuh jenjang doktor dalam bidang Antropologi. Untuk menjaga semangat studi di Nias tidak padam, penulis mengarahkan studi tersebut untuk menghasilkan sebuah buku. Penulisan buku ini juga didukung oleh Yayasan Keluarga Hashim Djojohadikusumo (YKHD).