Pemblokiran 7 Platform Digital: Perspektif Teori Peluru Magis dan Pembelajaran Sosial

Pemblokiran tujuh platform digital oleh Kemenkominfo, yang memicu reaksi keras warganet dan tagar #BlokirKominfo, menawarkan studi kasus menarik dalam konteks sosiologi komunikasi. Peristiwa ini dapat dianalisis melalui lensa teori peluru magis dan teori pembelajaran sosial, dua perspektif yang menawarkan pemahaman berbeda namun saling melengkapi. Teori peluru magis, atau *hypodermic needle theory*, menganggap pesan media memiliki dampak langsung dan kuat pada khalayak. Dalam konteks ini, pemblokiran dapat dilihat sebagai upaya pemerintah untuk mengontrol informasi dan membentuk opini publik secara langsung. Asumsinya, pengguna internet akan menerima pesan pemblokiran secara pasif dan mengubah perilaku online mereka sesuai dengan kebijakan tersebut. Namun, munculnya tagar #BlokirKominfo menunjukkan bahwa teori ini terlalu sederhana. Reaksi warganet membuktikan adanya resistensi dan kemampuan khalayak untuk menginterpretasi dan merespon pesan media secara aktif, bukan pasif. Teori pembelajaran sosial, di sisi lain, menawarkan perspektif yang lebih nuanced. Teori ini menekankan peran pembelajaran melalui observasi dan imitasi dalam pembentukan perilaku. Pemblokiran, dalam konteks ini, dapat dilihat sebagai suatu peristiwa yang memicu diskusi dan pembelajaran di kalangan warganet. Mereka belajar tentang kebebasan berekspresi, kontrol pemerintah atas informasi, dan strategi untuk mengatasi pembatasan akses internet. Tagar #BlokirKominfo menjadi wadah bagi pertukaran informasi dan pembentukan opini kolektif. Warganet tidak hanya menerima pesan secara pasif, tetapi juga berinteraksi, bernegosiasi, dan membangun makna bersama. Kesimpulannya, peristiwa pemblokiran ini menunjukkan keterbatasan teori peluru magis dalam menjelaskan respons khalayak terhadap pesan media. Teori pembelajaran sosial menawarkan pemahaman yang lebih komprehensif, menunjukkan bagaimana media tidak hanya mengirim pesan, tetapi juga memicu proses interaksi sosial dan pembentukan identitas kolektif. Reaksi warganet menunjukkan kekuatan jejaring sosial dalam menantang narasi tunggal dan membangun solidaritas di era digital. Kejadian ini mengajarkan kita tentang kompleksitas hubungan antara media, pemerintah, dan masyarakat dalam konteks demokrasi digital. Peristiwa ini menunjukkan bahwa pengaruh media jauh lebih dinamis dan interaktif daripada yang dibayangkan oleh teori peluru magis.