Kemunduran Bahasa Jawa: Sebuah Refleksi dari Geguritan "Wiwit Sekarat

Geguritan "Wiwit Sekarat" menyoroti keprihatinan akan kemunduran bahasa dan budaya Jawa. Unsur-unsur struktural lahiriahnya terlihat jelas melalui penggunaan tembang macapat, bentuk puisi tradisional Jawa. Bait-baitnya mengungkapkan rasa kehilangan dan keheranan penyair melihat orang Jawa yang "ilang jawane" (kehilangan jati dirinya). Geguritan ini secara argumentatif menunjukkan beberapa hal. Pertama, kehilangan penguasaan bahasa Jawa menimbulkan kebingungan bahkan di antara sesama orang Jawa. Orang Jawa sendiri heran mendengar tembang Jawa, menganggapnya sebagai tembang dari negara lain. Ini menunjukkan hilangnya apresiasi dan pemahaman terhadap warisan budaya sendiri. Kedua, geguritan ini menyoroti dampak dari perubahan sosial ekonomi. Kesulitan mengganti atap rumah ("omah susah ganti grayah-grayah") dihubungkan dengan hilangnya kemampuan berdialog dan bernegosiasi dalam bahasa Jawa. Ketidakmampuan berkomunikasi secara efektif dalam bahasa ibu menunjukkan kerusakan dalam struktur sosial dan hubungan antarmanusia. Ketiga, geguritan ini mengungkapkan keprihatinan akan hilangnya identitas budaya Jawa. Kehilangan kemampuan berbahasa Jawa dianggap sebagai tanda-tanda orang Jawa "ilang jawane". Ini menunjukkan bahwa bahasa merupakan bagian integral dari identitas budaya dan kehilangannya berarti kehilangan sebagian dari diri sendiri. Secara keseluruhan, geguritan "Wiwit Sekarat" merupakan ungkapan keprihatinan yang mendalam terhadap kemunduran bahasa dan budaya Jawa. Pesan yang disampaikan sangat relevan dengan realitas siswa saat ini, dimana penggunaan bahasa daerah seringkali terpinggirkan oleh bahasa nasional dan bahasa asing. Geguritan ini mengajak kita untuk merenungkan pentingnya melestarikan bahasa dan budaya sebagai bagian dari identitas bangsa. Semoga kita dapat menghindari nasib yang diungkapkan dalam geguritan ini, yaitu kehilangan jati diri sebagai orang Jawa.