Kemajuan dan Kemunduran Kesultanan Aceh

Kesultanan Aceh adalah salah satu kerajaan yang pernah berjaya di Nusantara. Pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar, Aceh mengalami perkembangan yang signifikan. Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar berhasil mengembangkan kekuatan angkatan perang dan perdagangan dengan Abyssinia. Pada tahun 1563, Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar bahkan mengirimkan utusan ke Konstantinopel untuk meminta bantuan melawan Portugis. Bantuan tersebut datang dalam bentuk teknisi pada tahun 1565. Untuk menjaga keutuhan Aceh, Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar menempatkan suami saudara perempuannya di Barus dengan gelar Sultan Barus. Selain itu, dua orang putra Sultan diangkat menjadi Sultan Aru dan Sultan Pariaman dengan gelar resminya Sultan Ghari dan Sultan Mughal. Di daerah-daerah yang berada di bawah pengaruh Aceh, wakil-wakil dari Aceh ditempatkan untuk menjaga kestabilan. Namun, kesultanan Aceh mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Sultan Iskandar Muda melakukan berbagai tindakan untuk memperkuat kedudukan Aceh sebagai pusat perdagangan. Salah satunya adalah merebut sejumlah pelabuhan penting di pesisir barat dan timur Sumatra serta pesisir barat Semenanjung Malaya. Sultan Iskandar Muda juga menyerang kedudukan Portugis di Malaka dan berhasil memenangkan perang melawan armada Portugis di sekitar Pulau Bintan pada tahun 1641. Selain itu, Sultan Iskandar Muda bekerja sama dengan Inggris dan Belanda untuk memperlemah pengaruh Portugis. Ia mengizinkan kedua negara tersebut membuka kantor dagang di Aceh. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Aceh juga mengalami kemajuan di bidang hukum dan sastra. Undang-undang tentang tata pemerintahan yang disebut Adat Makuta Alam disusun pada waktu itu. Di bidang sastra dan filsafat, muncul seorang ulama besar bernama Hamzah Fansuri. Hamzah Fansuri adalah seorang ulama yang ahli dalam ilmu tasawuf dan pengarang buku tentang filsafat agama Islam. Ajarannya yang indah dan pencerahannya terus disebarkan oleh salah satu muridnya, Syamsuddin Pasai, setelah Hamzah Fansuri meninggal. Namun, setelah Sultan Iskandar Muda meninggal, Kesultanan Aceh mengalami kemunduran. Ada beberapa faktor yang menyebabkan kemunduran tersebut. Pertama, Aceh mengalami kekalahan dalam perang melawan Portugis di Malaka pada tahun 1629. Tokoh pengganti Sultan Iskandar Muda juga tidak secakap pendahulunya. Selain itu, terjadi permusuhan di antara kaum ulama yang menganut ajaran Syamsuddin as-Sumatrani dan penganut ajaran Nuruddin ar-Raniri. Daerah-daerah yang jauh dari pemerintahan pusat seperti Johor, Perlak, Pahang, Minangkabau, dan Siak juga melepaskan diri dari Aceh. Pertahanan Aceh yang lemah membuat bangsa-bangsa Eropa berhasil mendesak dan menggeser daerah perdagangan Aceh. Akibatnya, perekonomian Aceh menjadi lemah. Meskipun mengalami kemunduran, kesultanan Aceh tetap meninggalkan warisan berupa kemajuan dalam bidang hukum, sastra, dan perdagangan. Kesultanan Aceh adalah salah satu bukti kejayaan Nusantara pada masa lalu.