Perkembangan Politik dan Ekonomi pada Masa Pemerintahan Presiden B.J. Habibie

Setelah Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, Wakil Presiden B.J. Habibie dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia yang ketiga. Pengangkatan Habibie sebagai Presiden didasarkan pada TAP MPR No.VII/MPR/1973 yang menyatakan bahwa jika Presiden berhalangan, maka Wakil Presiden akan menjadi Presiden. Pada saat Habibie menjabat sebagai Presiden, Indonesia sedang mengalami krisis ekonomi yang parah. Krisis ini disebabkan oleh krisis mata uang yang dipicu oleh hutang luar negeri yang sangat besar, yang kemudian menyebabkan nilai rupiah turun hingga seperempat dari nilai pada tahun 1997. Krisis ini juga dipengaruhi oleh musim kemarau panjang yang disebabkan oleh fenomena El Nino, yang mengakibatkan turunnya produksi beras. Selain itu, kerusuhan yang terjadi pada bulan Mei 1998 juga menghancurkan pusat-pusat bisnis perkotaan, terutama di kalangan investor keturunan Cina yang memiliki peran dominan dalam ekonomi Indonesia. Hal ini menyebabkan modal keluar dari Indonesia, serta hancurnya produksi dan distribusi barang-barang, sehingga upaya pemulihan ekonomi menjadi sangat sulit. Tingkat inflasi juga meningkat akibat kondisi tersebut. Pengunduran diri Soeharto membawa perubahan sosial dan politik yang signifikan. Masyarakat merasa lega karena adanya kemungkinan perubahan politik yang lebih terjangkau. Mahasiswa dan kelompok pro demokrasi menuntut adanya demokratisasi sistem politik dan pemilihan umum yang segera dilakukan untuk memilih anggota parlemen dan MPR yang akan memilih presiden dan wakil presiden baru. Dalam masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie, banyak perubahan politik dan ekonomi yang terjadi. Meskipun menghadapi tantangan yang besar, Habibie berusaha untuk memulihkan ekonomi Indonesia dan memenuhi tuntutan demokratisasi.