Senja di Rumah Tu

Rumah tua itu berdiri kokoh, saksi bisu perjalanan hidup keluarga besar Pak Harjo. Dindingnya yang kusam menyimpan ribuan cerita, tawa dan air mata yang telah terukir selama puluhan tahun. Dulu, halaman rumah selalu ramai dengan anak-anak berlarian, suara riang mereka menggema di antara pepohonan rindang. Kini, hanya kesunyian yang tersisa. Pak Harjo, kepala keluarga yang dulu tegar, kini duduk termenung di beranda. Ubannya semakin banyak, punggungnya membungkuk menahan beban usia dan duka. Istrinya, Bu Aminah, telah tiada setahun yang lalu, meninggalkan kekosongan yang tak tergantikan. Kepergian Bu Aminah menjadi titik balik bagi keluarga ini. Anak-anak mereka, tiga orang, telah beranjak dewasa dan memilih jalan hidup masing-masing. Si sulung, Budi, sukses sebagai pengusaha, namun kesibukannya membuatnya jarang pulang. Anak kedua, Ani, seorang dokter yang berdedikasi, sibuk dengan pekerjaannya di rumah sakit. Yang bungsu, Candra, seorang seniman, hidup sederhana dengan dunianya sendiri. Hubungan mereka, yang dulu begitu erat, kini renggang. Kesuksesan dan kesibukan masing-masing telah menjauhkan mereka. Kunjungan ke rumah tua ini pun semakin jarang, hanya sesekali di hari-hari besar. Pak Harjo merasa kesepian, dikelilingi oleh kenangan yang semakin memudar. Suatu sore, Pak Harjo jatuh sakit. Ia terbaring lemah di tempat tidurnya, tanpa ada yang menjaganya. Budi datang terlambat, menyesali kesibukannya yang telah membuatnya mengabaikan ayahnya. Ani datang dengan rasa bersalah, menyadari betapa sedikit waktunya yang ia berikan untuk keluarga. Candra, yang selalu pendiam, hanya bisa memeluk ayahnya dengan air mata berlinang. Kehadiran mereka di samping Pak Harjo, meskipun terlambat, membawa sedikit kehangatan di penghujung hayatnya. Mereka bercerita, mengenang masa-masa indah bersama, saling memaafkan atas kesalahan dan kekurangan masing-masing. Suasana haru menyelimuti rumah tua itu. Pak Harjo menghembuskan nafas terakhirnya di tengah keluarga yang telah lama terpisah. Kepergiannya menyisakan duka mendalam, namun juga menjadi titik awal bagi mereka untuk memperbaiki hubungan yang telah retak. Rumah tua itu tetap berdiri, menyimpan kenangan pahit dan manis, sebuah pelajaran berharga tentang arti keluarga. Setelah pemakaman, anak-anak Pak Harjo berkumpul kembali di rumah tua itu. Mereka sepakat untuk lebih sering berkumpul, menjaga silaturahmi, dan mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh ayah mereka. Mereka menyadari bahwa kebersamaan dan kasih sayang jauh lebih berharga daripada kesuksesan dan kesibukan duniawi. Namun, kesedihan masih terasa. Kehilangan Pak Harjo, pusat dari keluarga mereka, meninggalkan luka yang dalam. Rumah tua itu, yang dulunya penuh tawa, kini terasa sunyi dan hampa. Senja di rumah tua itu terasa lebih panjang, lebih dingin, mengingatkan mereka pada kenangan yang tak akan pernah kembali. Meskipun begitu, seberkas harapan tetap ada. Harapan akan kebersamaan yang lebih kuat, akan keluarga yang lebih utuh, akan masa depan yang lebih baik. Mereka akan terus mengingat pelajaran berharga dari kisah keluarga mereka, sebuah kisah yang berakhir dengan kesedihan, namun mengajarkan arti penting keluarga dan kasih sayang yang tak ternilai harganya.